TEORI

5/cate1/TEORI

ANALISA

6/cate2/ANALISA

SASTRA DAN BUDAYA

6/cate3/SASTRA DAN BUDAYA

PERNYATAAN SIKAP

5/cate4/PERNYATAAN SIKAP

FOTO

5/cate5/FOTO

Video

5/cate6/VIDEO

Recent post

Pentinnya Membaca Buku

Suasan saat pengurus lapak baca lagi menyusun buku -buku untuk dibaca tepat  di daerah tugu salib Wio Silimo Wamena (Foto:  Komunitas Baca Kota Agamua)

Oleh Misela Tabuni

Membaca buku harus dimulai dari kesadaran akan realita kehidupan dan problematika yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Terutama dalam memahami realitas secara kritis dan mampu memahami secara kontekstual.

Hal ini kembali menekan pemikiran Paulo Freire dalam pemikirannya dalam buku "Pendidikan Kaum Tertindas."

Yang menekankan bahwa praktik pendidikan dengan gaya bank membuat objeknya dieksploitasi dan membuat kelumpuhan berpikir dalam menyikapi tindakan-tindakan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat.

Sebagai Mahasiswa harus mampu memahami kondisi tersebut dan menganalisis dinamika penguasaan politik terhadap rakyat yang di tindas. Jika pendidikan tidak mampu, maka memerdekakan peran peserta didik sebagai agen perubahan/Agen perubahan seharusnya mampu mengubah keadaan menuju pembahasan.

Maka orientasi literasi harus fokus pada kenyataan yang ada.

Mari Membaca untuk melihat sisi gelap dari hegemoni dunia dan cara kerja Penguasa terhadap rakyat yang di tindas.

“Ketika Pendidikan tidak memerdekakan maka impian, kaum tertindas menjadi penindas.”Paulo Freire


Wamena, 12/07/2025


๐’๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐‹๐ข๐ญ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐ข


"" KETIDAK TAHUAN TIDAK AKAN ๐Œ๐„๐๐Ž๐‹๐Ž๐๐† ๐’๐ˆ๐€๐๐€๐๐”๐ ," ๐Š๐€๐‘๐‹ ๐Œ๐€๐‘๐—

Penulis adalah Anggota Komunitas Lapak Baca Kota Agamua

๐Ž๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Œ๐ข๐ฅ๐ข๐ญ๐ž๐ซ Dan ๐๐ž๐ฅ๐š๐ง๐ ๐ ๐š๐ซ๐š๐ง ๐‡๐€๐Œ ๐๐ข ๐๐š๐ฉ๐ฎ๐š

Gambar Operasi Militer Di Papua (Ilustrasi Google)

Operasi Militer Kolonialisme Indonesia Di Papua 
Oleh Masyarakat Adat Merdeka Papua (MAI-P)

Operasi militer adalah tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara dalam rangka mencapai tujuan strategis, baik dalam konteks:
• Operasi Militer untuk Perang (OMP): Melibatkan konflik bersenjata terbuka.

• Operasi Selain Militer Perang (OMSP): Seperti misi perdamaian, bantuan bencana, pengamanan wilayah, atau penanggulangan terorisme.

Melaksanakan operasi militer bukan sekedar keputusan militer, tetapi merupakan proses politik dan hukum yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Negara demokratis seperti Indonesia mewajibkan adanya kontrol sipil atas militer, terutama melalui persetujuan Presiden dan DPR, agar penggunaan kekuatan senjata tetap sah, proporsional, dan bertanggung jawab.

Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Fungsi dan tugas TNI, termasuk pelaksanaan operasi militer untuk perang dan selain perang harus mendapat persetujuan politik negara, dalam hal ini Presiden dan DPR, terutama jika melibatkan Pengerahan pasukan ke luar negeri, dan operasi besar dalam negeri yang berdampak pada hak-hak sipil.

Jika pemerintah atau TNI melakukan operasi militer tanpa persetujuan sah, maka dapat dianggap inkonstitusional, berpotensi menimbulkan krisis politik, dan dapat digugat oleh DPR atau Mahkamah Konstitusi karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.

Dalam Konteks Papua, operasi militer di Papua secara resmi tidak dinyatakan sebagai "operasi militer untuk perang", namun banyak unsur pelibatan militer yang intensif dan sistematis, terutama untuk mengatasi gerakan perlawanan bersenjata pro kemerdekaan Papua (TPNPB-OPM).
Pemerintah mengklaim ini adalah bagian dari penegakan hukum dan keamanan nasional, namun kritik terhadap pelanggaran HAM, pelanggaran transparansi, dan minimnya partisipasi DPR menjadikan sorotan domestik dan internasional.

Sejak Operasi Trikora (1961), Papua menjadi wilayah konflik yang menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan warga sipil di luar hukum, penghapusan paksaan, penyiksaan, penipuan, kekerasan seksual, dan pemindahan paksaan warga sipil, serta penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivitasme.

Menurut laporan Amnesty International, KontraS, Komnas HAM, serta pengakuan korban, pelanggaran-pelanggaran ini seringkali dilakukan tanpa akuntabilitas hukum.

Akibat banyaknya Operasi Militer Indonesia di Papua, akhirnya Masyarakat Papua hidup dalam ketakutan permanen terhadap aparat bersenjata. Anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan konflik bersenjata, dan kekerasan dipandang sebagai hal yang biasa.

Stigmatisasi terhadap orang Papua sebagai "separatis" atau "musuh negara" memperparah alienasi sosial dan psikologis. Trauma kolektif ini kemudian diturunkan lintas generasi, menghambat proses pembangunan masyarakat Papua yang sehat secara mental.

Dampak dari Operasi Militer di Papua, membuat banyak masyarakat terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena wilayah mereka dijadikan lokasi operasi militer, dan juga ruang sosial dan adat terganggu oleh kehadiran aparat militer di sekolah, gereja, dan pasar.
Tradisi lokal memudar karena ketakutan, pengungsian, dan gangguan aktivitas budaya. Banyak masyarakat adat yang mulai kehilangan rasa memiliki terhadap tanah dan identitas budayanya.

Operasi juga Militer merupakan bentuk pemiskinan sistemik karena terhentinya aktivitas ekonomi masyarakat kampung. Militerisasi membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam (tambang, logging, sawit) yang tidak menguntungkan masyarakat lokal dan hasilnya menetapkan Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia, meskipun kaya sumber daya.

Pengiriman pasukan untuk Operasi Militer di Papua juga sering menjadi alat pemukul yang efektif bagi Aktivis dan demokrasi di Papua. Aktivis damai selalu ditangkap atau diintimidasi, ekspresi politik direspons dengan kekuatan militer. Karena Militerisasi terus membungkam ruang sipil dan demokrasi lokal.

Operasi militer yang sangat masif, tentu saja membatasi akses media dan pemantau independen ke Papua, dan ini tentu saja memberikan transparansi dan akuntabilitas.
Masyarakat internasional menilai Papua sebagai wilayah yang dilindungi dan dilindungi, merusak citra Indonesia di mata dunia.

PBB dan organisasi HAM internasional beberapa kali melakukan pencarian independen, namun aksesnya sering ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Hingga hari ini, pengiriman atau penambahan pasukan dan operasi militer masih sangat masif dilakukan pemerintah Indonesia diatas tanah Papua.

Beberapa lembaga penting yang melakukan pemantauan terhadap operasi militer Indonesia di Papua, menyebutkan bahwa informasi jumlah pengungsi akibat operasi militer dan konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPNPB-OPM, per September 2024 hingga Mei 2025, diperkiraan mencapai 80 - 90.000 pengungsi.

Berikut adalah beberapa daftar Operasi Militer Indonesia diatas tanah Papua, sejak 1961 hingga hari ini :

1. OPERASI TRIKORA( 1961 -1962)
2. OPERASI JAYAWIJAYA( 1963 - 1965)
3. OPERASI WISNUMURTI ( 1963 -1965)
4. OPERASI SADAR ( 1965)
5. OPERASI BHARATA YUDHA( 1966 - 1967)
6. OPERASI WIBAWA ( 1967)
7. OPERASI PEPERA ( 1961 - 1969)
8. OPERASI TUMPAS ( 1967 -1970)
9.OPERASI PAMUNGKAS ( 1971 - 1977)
10. OPERASI KOTEKA ( 1977 - 1978)
11. OPERASI SENYUM (1979 - 1980)
12. OPERASI GAGAK 1 ( 1983 - 1986)
13 OPERASI KASUARI 1 ( 1986 - 1987)
14. OPERASI KASUARI 2 ( 1988 - 1989)
15. OPERASI KASUARI 3 ( 1989 - 1990)
16. OPERASI RAJAWALI 1 (1989 - 1990)
17. OPERASI RAJAWALI 2 ( 1990 - 1995)
18. OPERASI SADAR MATOA 1( 1998 -2000)
19. OPERASI SADAR MATOA 2 ( 2001 - 2004)
20. OPERASI SADAR MATOA 3 ( 2004 - 2005,)
21. OPERASI DAMAI KARTENS 1( 2005 - _ 2009)
22. OPERASI DAMAI KARTENS 2 ( 2009 - 2015)
23. OPERASI DAMAI KARTENS 3 ( 2015 - 2020)
24. OPERASI DAMAI KARTENS 4 ( 2020 - 2025).

Berdasarkan uraian tentang Operasi Militer dan pelanggaran HAM diatas, maka kami mengeluarkan beberapa poin yang menjadi tuntutan kami kepada Nemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai berikut :

1. Segera menarik pasukan militer Organik dan non-organik (TNI dan Brimob) dari seluruh wilayah Papua, terutama dari wilayah-wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo.

2. Menghentikan status militerisasi Papua dan mengembalikan fungsi keamanan ke ranah sipil melalui kepolisian setempat yang profesional dan menghormati HAM.

3. Menuntut transparansi dan akuntabilitas atas operasi militer yang menyebabkan pengungsian massal dan korban sipil, termasuk investigasi independen terhadap dugaan pelanggaran HAM berat.

4. Menolak pendekatan keamanan sebagai solusi utama konflik Papua dan mendesaknya dialog damai yang dimediasi oleh pihak netral, seperti gereja, tokoh adat, atau pihak internasional.

5. Memberikan aksesnya seluas-luasnya kepada lembaga kemanusiaan, media independen, dan pemantau HAM ke wilayah konflik, yang selama ini dibatasi dengan dalih keamanan.

6. Membentuk tim independen nasional dan/atau internasional untuk mengusut kekerasan aparat di Papua, termasuk peristiwa penembakan warga, penyiksaan, dan perusakan kampung.

7. Menghentikan operasi perusahaan-perusahaan asing yang terbukti atau diduga kuat menjadi pemicu konflik sosial dan pelanggaran HAM, seperti PT Freeport Indonesia di Mimika.

8. Menuntut audit menyeluruh terhadap perizinan, dampak lingkungan, dan kontribusi sosial perusahaan asing di Papua, terutama yang beroperasi di wilayah adat dan konservasi.

9. Meminta pertanggungjawaban perusahaan asing yang menggunakan jasa aparat bersenjata untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, yang menyebabkan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal.

10. Menolak eksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak melibatkan persetujuan bebas dan sadar (FPICon) dari masyarakat adat.

11. Mendorong nasionalisasi atau pengawasan ketat terhadap seluruh proyek pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur yang dilakukan oleh perusahaan asing, demi melindungi hak-hak masyarakat Papua.

12. Menghentikan ekspansi industri ekstraktif yang memperparah penggusuran, perampasan tanah adat, dan kerusakan lingkungan, yang sering dilindungi oleh kekuatan militer bersenjata.

***

"???? ๐˜๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต๐˜ช ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฉ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฑ, ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฉ, ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ด๐˜ญ๐˜ช ๐˜—๐˜ข๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ข!"

"๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ & ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™–"

#HancurkanImperialisme
#HapuskanKolonialisme
#LawanMiliterisme
#SelamatkanTanahAdatDanManusiaPapua
#MasyarakatAdatMerdekaPapua

๐๐ซ๐จ๐ค๐ฅ๐š๐ฆ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ ๐‰๐ฎ๐ฅ๐ข ๐Ÿ๐Ÿ—๐Ÿ•๐Ÿ ๐’๐ž๐›๐š๐ ๐š๐ข ๐๐ž๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐๐ž๐ซ๐ฅ๐š๐ฐ๐š๐ง๐š๐ง ๐’๐ข๐ฆ๐›๐จ๐ฅ๐ข๐ค ๐“๐ž๐ซ๐ก๐š๐๐š๐ฉ ๐€๐ง๐ž๐ค๐ฌ๐š๐ฌ๐ข


Proklamasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971 oleh Seth Jafet Rumkorem adalah sebuah tindakan politik simbolik yang menolak secara tegas proses integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang oleh sebagian rakyat Papua dianggap sebagai aneksasi, bukan integrasi sukarela.


Proklamasi ini tidak hanya menyatakan berdirinya Republik Papua Barat, tetapi juga menjadi bentuk protes langsung terhadap hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yang dianggap cacat secara prosedural dan manipulatif. Dalam pandangan kelompok separatis, Pepera adalah bentuk legalisasi aneksasi oleh Indonesia yang didukung oleh kekuatan militer dan diaminkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Belanda tetap mempertahankan kendali atas wilayah Papua hingga awal tahun 1960-an. Wilayah ini kemudian dipindahkan ke Indonesia berdasarkan Perjanjian New York (1962), yang dibuat antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan rakyat Papua secara langsung.

Pada tahun 1969, dilakukan Pepera yang seharusnya memberi hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Papua. Namun, karena hanya melibatkan 1.026 delegasi yang dipilih dan ditekan, banyak pihak menyebut Pepera sebagai bentuk "rekayasa politik" yang mencederai prinsip demokrasi.

Dalam konteks inilah proklamasi 1 Juli 1971 muncul sebagai reaksi keras terhadap proses yang dianggap sebagai pencaplokan paksa wilayah Papua ke dalam Indonesia.

Dengan memproklamasikan kemerdekaan Papua Barat, Seth Rumkorem menyampaikan beberapa poin penting:

• Bahwa tanah Papua adalah wilayah yang memiliki hak penuh atas penentuan nasib sendiri.

• Bahwa hasil Pepera tidak sah dan tidak mewakili aspirasi rakyat Papua.

• Bahwa rakyat Papua berhak menyatakan kemerdekaan secara sepihak sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan militer dan dominasi politik dari Jakarta.

Proklamasi ini tidak dilakukan di kota besar atau forum internasional, melainkan di Markas Victoria, sebuah basis gerilya di hutan. Lokasi ini menjadi simbol bahwa meskipun tidak memiliki kekuatan formal, rakyat Papua tetap memiliki aspirasi untuk menentukan nasib sendiri di luar struktur negara Indonesia.

Bentuk protes ini tidak hanya soal wilayah atau batas politik, tetapi juga tentang Marginalisasi ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport.

Militerisasi wilayah Papua yang menyebabkan pelanggaran HAM, pengungsian, dan trauma kolektif masyarakat adat.

Proklamasi 1 Juli 1971 bisa dibaca sebagai reaksi terhadap dehumanisasi dan penyingkiran struktur sosial-politik tradisional Papua oleh sistem pemerintahan Indonesia yang bermaksud dan tidak inklusif terhadap identitas budaya Papua.

Meskipun tidak diakui secara internasional, dan tidak berhasil membangun negara merdeka secara de facto maupun de jure, proklamasi ini tetap menjadi landasan moral dan sejarah bagi berbagai gerakan kemerdekaan Papua hingga hari ini.

1 Juli terus diperingati oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok pro-kemerdekaan lainnya sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat yang sah.

Proklamasi ini memupuk kesadaran politik dan identitas nasional alternatif di kalangan orang Papua, yang melihat diri mereka sebagai bangsa yang terpisah dari Indonesia.

Proklamasi 1 Juli 1971 oleh Seth Jafet Rumkorem adalah bentuk perlawanan simbolik, politik, dan ideologi terhadap proses aneksasi tanah Papua oleh Indonesia. Ia tidak sekadar menyatakan administratif, melainkan juga bentuk seruan moral dan historis untuk mengoreksi ketidakadilan dalam proses dekolonisasi dan integrasi yang dirasakan oleh masyarakat Papua.

Dalam sejarah Papua modern, proklamasi ini adalah tonggak penting yang menunjukkan bahwa perjuangan Papua bukan hanya soal kemerdekaan formal, tetapi juga soal pengakuan atas identitas, martabat, dan hak untuk menentukan masa depan sendiri.

"" ๐๐ซ๐จ๐ค๐ฅ๐š๐ฆ๐š๐ฌ๐ข ๐Š๐ž๐ฆ๐ž๐ซ๐๐ž๐ค๐š๐š๐ง ๐๐š๐ซ๐š๐ญ (๐Ÿ ๐‰๐ฎ๐ฅ๐ข ๐Ÿ๐Ÿ—๐Ÿ•๐Ÿ - ๐Ÿ ๐‰๐ฎ๐ฅ๐ข ๐Ÿ๐ŸŽ๐Ÿ๐Ÿ“ )"

"๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ & ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™–"

Bukan Soal Bendera Israel: Ini Soal Papua dan Nama Merince Kogoya

 Merince Kogoya (Dok: FB)
Oleh Elisa Bisulu (Ebis)

Peristiwa pemula adik Merince Kogoya dari ajang Miss Indonesia 2025, di akhir Juni karena alasan sepele, bukan sekadar tindakan administratif.

Ini adalah peristiwa simbolik yang menampilkan bagaimana kekuatan negara bekerja dalam membentuk batas-batas kebangsaan, mengendalikan representasi tubuh Papua, serta menyaring siapa yang layak dan tidak layak menjadi bagian dari narasi nasional.

Tuduhan bahwa Merince mendukung Israel hanyalah alasan yang tampak di permukaan retorika sempit yang menutupi kecemasan negara terhadap identitas Papua itu sendiri.

serupa yang ditunjukkan dalam banyak kasus lain, simbol (dalam hal ini bendera Israel) sering digunakan sebagai dalih untuk menyimpan tubuh-tubuh yang dianggap “mengganggu” stabilitas wacana nasionalisme yang homogen.

Tubuh Papua dan paranoia negara dapat menjadi analogi peristiwa ini. Kita harus menyimpulkan: apakah masalah utamanya benar-benar pada bendera Israel, atau pada siapa yang mengangkatnya?

Dalam kasus Merince, tindakan pemulangan dilakukan secara sepihak, tanpa proses klarifikasi atau hak pembelaan. Hal ini menunjukkan bahwa yang dihakimi bukan hanya tindakan, tetapi siapa yang bertindak.  

Tubuh Papua dengan kulit gelap, rambut keriting, dan identitas marginalnya kembali menjadi sasaran tafsir dan ketakutan kolektif negara.

Hal ini selaras dengan analisis Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks dan The Wretched of the Earth , di mana ia menjelaskan bahwa kolonialisme tidak hanya menjajah wilayah fisik, tetapi juga struktur psikologis dan representasi identitas masyarakat terjajah.   

Fanon menyebut ini sebagai bentuk “kekerasan simbolik” yang memaksa individu terjajah untuk hidup dalam “topeng” agar bisa diterima oleh sistem dominan. Namun seringkali, seperti Merince, bahkan topeng itu pun ditolak.

Merince telah “bermain sesuai aturan.” Ia berpartisipasi dalam ajang resmi negara, tampil percaya diri, membawa identitasnya secara elegan.

Namun kehadirannya tetap dianggap terlalu “politis.” Tubuhnya bukan hanya tubuh seorang perempuan muda dari Indonesia, tetapi dipandang sebagai simbol ancaman dari Papua yang selalu dibayangkan.

Stigma atas Marga Kogoya: Warisan Rasa Bersalah oleh Asosiasi 

Lebih jauh lagi, kita tidak bisa memisahkan peristiwa ini dari sejarah panjang stigmatisasi terhadap identitas Papua, khususnya atas nama dan marga.

Marga Kogoya secara politik telah lama diasosiasikan oleh institusi keamanan Indonesia dengan perlawanan bersenjata. Terutama sejak nama Egianus Kogoya menjadi ikon militerisasi di media nasional.

Dalam logika negara Indonesia, ini menciptakan efek rasa yang disebabkan oleh asosiasi : seolah-olah siapa pun yang bermarga Kogoya harus curiga, meskipun tak ada kaitan langsung. 

Lennis Kogoya, misalnya, “diselamatkan” negara dan diberi posisi tertentu sebagai penyeimbang naratif terhadap Egianus. Tapi ini pun, seperti dikatakan Fanon, adalah bentuk penjinakan kolonial, di mana negara memberikan “pengakuan terbatas” agar tetap dapat mengendalikan representasi.

Dalam kasus Merence, negara tidak bisa membedakan antara identitas individu dan sejarah kolektif yang dianggap bermasalah. Ia bukan dihakimi sebagai individu, melainkan sebagai simbol kolektif dari apa yang negara takuti: Papua yang merdeka secara kultural dan simbolik.

Teori Kekuasaan dan Kekuatan Simbolik

Dengan menggunakan lensa Michel Foucault dalam konteks Hegemoni, kita dapat melihat bahwa kekuasaan dalam konteks ini tidak bekerja secara kejam, melainkan halus dan diatur melalui wacana, institusi, dan representasi.

Merince tidak dipenjara secara fisik, tetapi ditarik keluar dari ruang publik, dijauhkan dari panggung, dan dihapus dari narasi “Indonesia ideal.”

Ini adalah bentuk kontrol tubuh dan identitas melalui disiplin simbolik: negara menentukan siapa yang berhak mewakili “Indonesia,” dan siapa yang harus disingkirkan karena dianggap membawa “identitas berlebihan.”

Sara Ahmed, dalam teorinya tentang “ekonomi afektif”, menjelaskan bahwa tubuh-tubuh tertentu menjadi beban emosional kolektif dalam imajinasi bangsa. Tubuh Papua dalam hal ini menjadi titik akumulasi ketakutan, trauma sejarah, dan stigma yang tak kunjung sembuh.

Pertanyaannya, jika peserta dari Jawa atau Bali mengibarkan bendera yang sama, apakah negara akan bereaksi serupa? Sangat mungkin tidak.

Karena dalam nasionalisme Indonesia yang sentralistis, ekspresi “non-mainstream” lebih mudah diterima jika datang dari kelompok dominan. Nasionalisme semacam ini bekerja dengan standar ganda, di mana kaum minoritas seperti orang Papua selalu berjalan di atas garis tipis antara diterima dan ditolak.

Penyingkiran Simbolik dan Diskriminasi Struktural

Peristiwa pemulangan Merince adalah bentuk penyingkiran simbolik yang dipicu oleh kecemasan negara terhadap sejarah politik Papua, bukan solidaritas terhadap Palestina.

Ironisnya, dalam narasi publik, negara-negara begitu vokal dalam mendukung kemanusiaan untuk Palestina, namun sering gagal menerapkan prinsip yang sama terhadap anak-anak bangsanya sendiri, terutama yang berasal dari wilayah yang termarjinalkan.

Diskriminasi terhadap Papua bukan hanya dalam bentuk ekonomi dan pembangunan yang timpang, namun juga diskriminasi simbolik dan kultural, yang lebih halus namun menyakitkan.

Ini adalah bentuk rasisme sistemik yang tidak selalu tampak kasar, tetapi bekerja melalui norma sosial dan penyingkiran halus.

Dalam konteks ini, tubuh Merince tidak dilihat sebagai representasi keberagaman Indonesia, melainkan sebagai simbol yang ditakuti: Papua yang tidak bisa dijinakkan. Ia bukan hanya membawa nama, tetapi juga membawa sejarah dan sejarah itulah yang belum bisa dihadapi oleh negara Indonesia.

Hal serupa dikatakan Frantz Fanon, "Ini bukan tentang bendera. Ini tentang wajah yang tidak pernah benar-benar diterima." Akhinyra, seperti yang ditegaskan oleh Malcolm X:  

“Anda tidak dapat memisahkan perdamaian dari kebebasan karena tidak ada seorang pun yang bisa merasa damai kecuali dia memiliki  kebebasannya.”  Anda tidak bisa memisahkan kedamaian dari kebebasan, karena tak seorang pun bisa merasakan kedamaian jika ia tidak memiliki kebebasan.

Penulis adalah aktivis Masyarakat Adat Independent Papua (MAI-P) Komite Kota Sorong.