TEORI

5/cate1/TEORI

ANALISA

6/cate2/ANALISA

SASTRA DAN BUDAYA

6/cate3/SASTRA DAN BUDAYA

PERNYATAAN SIKAP

5/cate4/PERNYATAAN SIKAP

FOTO

5/cate5/FOTO

Video

5/cate6/VIDEO

Recent post

Mengingat Luka Sejarah : Belajar Dari Jerman, Bercermin Pada Indonesia

Peringatan Holocaust di Berlin, Jerman(wikipedia commons)
Oleh : Elisa Bisulu

(Sistem Penididkan di Jerman hari ini,mendididik generasi nya untuk malu terhadap masa lalunya yang kelam.)

Bangsa Jerman pasca Perang Dunia II dihadapkan pada kenyataan paling kelam dalam sejarah mereka, yakni “Holocaust”. Di mana, dalam peristiwa tersebut jutaan orang Yahudi dan kelompok minoritas lainnya dibantai di bawah kepemimpinan "Adolf Hitler" yang Antisemitisme.

Namun, sistem pendidikan sejarah di Jerman saat ini secara sistematis menanamkan rasa malu, tanggung jawab moral, serta penolakan terhadap ideologi antisemitisme. Generasi muda Jerman hari ini, dididik bukan untuk menghapus, melainkan untuk mengingat dan mengakui, sehingga tragedi serupa tidak terulang kembali. Rasa malu ini dipelihara dalam wujud monumen, museum, kurikulum sekolah, hingga kebijakan politik yang melarang simbol-simbol Nazi.

Berbeda dengan itu, di Indonesia, sejarah kelam mengenai tindak kekerasan negara terhadap kelompok tertentu jarang diakui secara terbuka. Masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku hingga Etnis Tionghoa masih menyimpan luka akibat represi militer, diskriminasi, dan memunculkan aspirasi politik mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Bertolak belakang dengan kenyataan dalam sejarah Jerman diatas, narasi resmi negara Indonesia cenderung menutupi atau mereduksi sejarah seperti itu, sementara korban dan keluarganya jarang mendapat pengakuan dan keadilan. Alih-alih malu, sering kali ada mengagungkan atas “persatuan” dengan mengorbankan pengakuan atas kelompok penderita yang ditundukkan.

Fenomena ini bukan unik di Indonesia. Sejarah dunia penuh contoh bagaimana negara berjuang (atau gagal) berdamai dengan masa lalunya ; seperti halnya di Turki hingga kini menolak mengakui genosida Armenia pada tahun 1915, meskipun bukti sejarah kuat mendukung peristiwa itu. Begitupun juga, di Amerika Serikat masih berproses menghadapi dosa berkepanjangan dan diskriminasi rasial terhadap warga kulit hitam maupun penduduk asli.
Situasi serupa juga terjadi terhadap rakyat Jepang, yang kerap dikritik karena setengah hati mengakui kekejaman masa pendudukan militernya di Asia, termasuk eksploitasi “jugun ianfu” (wanita penghibur). Hingga Afrika Selatan dengan model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mencoba menghadapi trauma apartheid lewat pengakuan, meski tidak sempurna.

Dari sini, kita bisa melihat perbedaan mendasar, bahwa bangsa yang berani mengakui kesalahan cenderung memiliki pijakan moral yang lebih kuat untuk membangun masa depan, sementara bangsa yang menolak bercermin kerap mengembalikan luka yang sama dalam bentuk diskriminasi baru.

"Bangsa
yang besar dan kuat  ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ , ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ข๐˜ง , ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ถ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ." 

๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ DAN ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™– " 

Penulis adalah anggota organisasi Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) Komite Kota Sorong


Pernyataan Sikap MAI-P Timika : Segera Bebasakan 4 Aktivis NFRPB


Masyarakat Adat Independent Papua MAI-P) Komite Kota Timika  dalam kegiatan memberikan dukungan terhadap pembebasan 4 aktivisme Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) yang di tahan di Makasar. (17/08/25. Foto,MAIP)

Masyarakat Adat Merdeka Papua ( MAI P ) Komite Kota Timika - Papua Bersolidaritas Dan Menuntut Kepada Negara Kolonial Indonesia Agar Segera dan Wajib;

" BEBASKAN KEEMPAT PEJUANG PAPUA TANPA SYARAT KARENA MEREKA BUKAN PELAKU MAKAR MEREKA KORBAN KRIMINALISASI "

Salam Masyarakat Adat

Selamatkan Tanah Adat Dan Selamatkan Manusia Papua

Acemo, Rabu Reha, Lau Wobok, Jou Suba, Nimo, Koyao, Koha, Kosa, Dormum, Foi-Moi, Tabea mufa, Nayaklak, Nare, Yepmum, Walak, Wainambe, Amakanie, Amolongo, Kinaonak, Wiwao, Wa...wa...wa...wa…

Pada 21 April 2025, aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) menyerahkan surat tembusan dari Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut, yang berisi tawaran penyelesaian konflik Papua secara damai ke Kantor Gubernur Papua Barat Daya dan Kantor Wali Kota Sorong. Beberapa hari kemudian, berbagai pihak menentang aksi tersebut, termasuk Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu, Wakil Wali Kota Sorong, serta sejumlah ormas pro-NKRI. Mereka bahkan meminta aparat keamanan untuk mengambil tindakan.

28 April 2025, empat aktivis NFRPB (Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek) ditangkap oleh Polresta Sorong dan langsung ditetapkan sebagai tersangka makar pada hari yang sama. Penangkapan dilakukan di rumah Abraham Goram di Klademak III, Sorong, disertai penyitaan barang-barang yang dianggap sebagai barang bukti. Sejak saat itu, keempat Tapol ditahan dalam kondisi buruk, ruang sempit, berasap rokok, dan minim sirkulasi udara. Setelah 49 hari, kesehatan mereka memburuk, terutama Abraham Goram (paru-paru kambuh) dan Maxi Sangkek (batuk darah). Pengaduan keluarga dan pendamping hukum (LP3BH Manokwari) agar dua Tapol yang sakit mendapat perawatan layak diabaikan aparat.

11 Agustus 2025, berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) dan diserahkan kejaksaan. Kejaksaan kemudian mengajukan permohonan penundaan sidang ke Makassar, yang disetujui Mahkamah Agung dengan alasan manipulatif bahwa Sorong tidak kondusif. Keputusan pemindahan ini memicu gelombang aksi solidaritas di Sorong: long march, orasi, blokade jalan, hingga pembakaran ban sebagai simbol persetujuan. 27 Agustus 2025, massa aksi menghadang pemindahan Tapol di depan Polresta Sorong, namun dibubarkan secara represif oleh aparat TNI/Polri. Akibatnya, Maikel Welerubun tertembak di tulang rusuk dan tangan, sementara Yance Manggaprow ditangkap dan dirusak. Setidaknya 17 warga ditangkap, termasuk anak-anak di bawah umur. 29 Agustus 2025, aparat kembali menangkap Dedi Goram (anak Tapol Abraham Goram) dan tiga aktivis solidaritas (Aves Susim, Elisa Bisulu, Maikel Wafom). Protes spontan warga, terutama mama-mama Papua, mendesak ketenangan para tahanan hingga akhirnya 24 orang dibebaskan secara bertahap hingga 1 September 2025.

Perlu digarisbawahi: pemantauan 26 rakyat Papua Barat beserta 5 aktivis Solidaritas yang diadakan saat peristiwa 27 Agustus 2025, adalah murni karena desakan rakyat dan juga tidak ditemukannya bukti hukum yang kuat oleh kepolisian resor sorong kota, bukan kemurahan hati pemerintah atau Forkopimda Papua Barat Daya. Sementara itu, keempat Tapol NFRPB tetap dipindahkan ke Pengadilan Negeri Makassar untuk menjalani konferensi, meski situasi di Makassar sendiri juga tidak kondusif.Mereka telah melalui konferensi yang ke dua pada Senin 08 September 2025 dengan agenda pembacaan dakwaan. Dalam agenda pembacaan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari kejaksaan negeri Sorong dengan Jabatan Kasipidum yang menyampaikan bahwa mereka berdakwa dengan kasus Makar karena telah melakukan pemufakatan jahat. Dan pada hari Senin 15 September 2025 akan diadakan konferensi ketiga dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota pembelaan.

Oleh karena itu kami menyampaikan kami akan menyampaikan beberapa 12 poin tuntutan politik kami.

Kami, Masyarakat Adat Merdeka Papua ( MAI P ) Komite Kota Timika, menyatakan:

1. Mendesak Mahkamah Agung membatalkan fatwa pemindahan empat Tapol NFRPB dari Sorong ke Makassar.

2. Mengingat situasi Makassar saat ini juga tidak kondusif, kami menuntut agar konferensi mengajukan permohonan ke Sorong.

3. Mendesak PN Makassar segera memvonis bebas keempat Tapol NFRPB.

4. Mendesak Komnas HAM RI mengusut penyelesaian pembunuhan terhadap Maikel Welerubun pada aksi 27 Agustus 2025.

5. Mendesak Kejati dan Ombudsman RI memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Sorong atas dugaan keterangan palsu soal “inkondusifitas” Sorong.

6. Hentikan intimidasi terhadap keluarga Sayang Mandabayan dan seluruh aktivis HAM Papua Barat.

7. Mendesak pemerintah Indonesia segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen untuk mengungkap senjata api dalam aksi 27 Agustus.

8. Menuntut Pemprov Papua Barat Daya melakukan pemulihan trauma dan membiayai korban luka [1] luka.

9. Menegaskan bahwa pembebasan 24 tahanan aksi 27 Agustus adalah murni hasil desakan rakyat, bukan kemurahan pemerintah.

10. Hentikan intimidasi terhadap keluarga 4 Tapol NFRPB.

11. Mendesak Jaksa Penuntut Umum untuk segera mencabut tuntutan makar yang telah didakwakan kepada keempat tapol bangsa Papua. Karena telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam menyampaikan pikiran serta pendapat.

12.Tutup PT Freeport dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua

13.Tolak Proyek Strategi Nasional Di Seluruh Tanah Adat Papua

14.Tarik Militer Organik Dan Non Organik Indonesia Di Atas Tanah Adat Papua

15.Tolak Pemekaran Daerah Baru Di Tanah Adat Papua

16.Tolak Seluruh Perusahaan Asing Dan Indonesia Di Tanah Adat Papua

17.Kami Bersolidaritas Terhadap Perjuangan Masyarakat Adat Di Tanah Papua, Indonesia Dan Dunia

18. Segera memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat sebagai solusi demokratis.

Kami akan terus mengawali isu ini dan menyebarkannya kepada seluruh rakyat Papua Barat serta masyarakat sipil Indonesia untuk bersolidaritas. Demokrasi tidak boleh dikuburkan di tanah Papua oleh segelintir elit yang bersembunyi di balik kepentingan.

Demikian siaran pers ini kami keluarkan untuk diketahui bersama oleh seluruh elemen Rakyat Papua Barat. Atas perhatian dan kerjasama semua pihak, kami sampaikan terima kasih.

Amungsa, 17 September 2025

Salam Masyarakat Adat

Selamatkan Tanah Adat Dan Manusia Papua

Masyarakat Adat Merdeka Papua (MAI P) Komite Kota Timika

 


Pentinnya Membaca Buku

Suasan saat pengurus lapak baca lagi menyusun buku -buku untuk dibaca tepat  di daerah tugu salib Wio Silimo Wamena (Foto:  Komunitas Baca Kota Agamua)

Oleh Misela Tabuni

Membaca buku harus dimulai dari kesadaran akan realita kehidupan dan problematika yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Terutama dalam memahami realitas secara kritis dan mampu memahami secara kontekstual.

Hal ini kembali menekan pemikiran Paulo Freire dalam pemikirannya dalam buku "Pendidikan Kaum Tertindas."

Yang menekankan bahwa praktik pendidikan dengan gaya bank membuat objeknya dieksploitasi dan membuat kelumpuhan berpikir dalam menyikapi tindakan-tindakan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat.

Sebagai Mahasiswa harus mampu memahami kondisi tersebut dan menganalisis dinamika penguasaan politik terhadap rakyat yang di tindas. Jika pendidikan tidak mampu, maka memerdekakan peran peserta didik sebagai agen perubahan/Agen perubahan seharusnya mampu mengubah keadaan menuju pembahasan.

Maka orientasi literasi harus fokus pada kenyataan yang ada.

Mari Membaca untuk melihat sisi gelap dari hegemoni dunia dan cara kerja Penguasa terhadap rakyat yang di tindas.

“Ketika Pendidikan tidak memerdekakan maka impian, kaum tertindas menjadi penindas.”Paulo Freire


Wamena, 12/07/2025


๐’๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐‹๐ข๐ญ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐ข


"" KETIDAK TAHUAN TIDAK AKAN ๐Œ๐„๐๐Ž๐‹๐Ž๐๐† ๐’๐ˆ๐€๐๐€๐๐”๐ ," ๐Š๐€๐‘๐‹ ๐Œ๐€๐‘๐—

Penulis adalah Anggota Komunitas Lapak Baca Kota Agamua

๐Ž๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Œ๐ข๐ฅ๐ข๐ญ๐ž๐ซ Dan ๐๐ž๐ฅ๐š๐ง๐ ๐ ๐š๐ซ๐š๐ง ๐‡๐€๐Œ ๐๐ข ๐๐š๐ฉ๐ฎ๐š

Gambar Operasi Militer Di Papua (Ilustrasi Google)

Operasi Militer Kolonialisme Indonesia Di Papua 
Oleh Masyarakat Adat Merdeka Papua (MAI-P)

Operasi militer adalah tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara dalam rangka mencapai tujuan strategis, baik dalam konteks:
• Operasi Militer untuk Perang (OMP): Melibatkan konflik bersenjata terbuka.

• Operasi Selain Militer Perang (OMSP): Seperti misi perdamaian, bantuan bencana, pengamanan wilayah, atau penanggulangan terorisme.

Melaksanakan operasi militer bukan sekedar keputusan militer, tetapi merupakan proses politik dan hukum yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Negara demokratis seperti Indonesia mewajibkan adanya kontrol sipil atas militer, terutama melalui persetujuan Presiden dan DPR, agar penggunaan kekuatan senjata tetap sah, proporsional, dan bertanggung jawab.

Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Fungsi dan tugas TNI, termasuk pelaksanaan operasi militer untuk perang dan selain perang harus mendapat persetujuan politik negara, dalam hal ini Presiden dan DPR, terutama jika melibatkan Pengerahan pasukan ke luar negeri, dan operasi besar dalam negeri yang berdampak pada hak-hak sipil.

Jika pemerintah atau TNI melakukan operasi militer tanpa persetujuan sah, maka dapat dianggap inkonstitusional, berpotensi menimbulkan krisis politik, dan dapat digugat oleh DPR atau Mahkamah Konstitusi karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.

Dalam Konteks Papua, operasi militer di Papua secara resmi tidak dinyatakan sebagai "operasi militer untuk perang", namun banyak unsur pelibatan militer yang intensif dan sistematis, terutama untuk mengatasi gerakan perlawanan bersenjata pro kemerdekaan Papua (TPNPB-OPM).
Pemerintah mengklaim ini adalah bagian dari penegakan hukum dan keamanan nasional, namun kritik terhadap pelanggaran HAM, pelanggaran transparansi, dan minimnya partisipasi DPR menjadikan sorotan domestik dan internasional.

Sejak Operasi Trikora (1961), Papua menjadi wilayah konflik yang menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan warga sipil di luar hukum, penghapusan paksaan, penyiksaan, penipuan, kekerasan seksual, dan pemindahan paksaan warga sipil, serta penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivitasme.

Menurut laporan Amnesty International, KontraS, Komnas HAM, serta pengakuan korban, pelanggaran-pelanggaran ini seringkali dilakukan tanpa akuntabilitas hukum.

Akibat banyaknya Operasi Militer Indonesia di Papua, akhirnya Masyarakat Papua hidup dalam ketakutan permanen terhadap aparat bersenjata. Anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan konflik bersenjata, dan kekerasan dipandang sebagai hal yang biasa.

Stigmatisasi terhadap orang Papua sebagai "separatis" atau "musuh negara" memperparah alienasi sosial dan psikologis. Trauma kolektif ini kemudian diturunkan lintas generasi, menghambat proses pembangunan masyarakat Papua yang sehat secara mental.

Dampak dari Operasi Militer di Papua, membuat banyak masyarakat terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena wilayah mereka dijadikan lokasi operasi militer, dan juga ruang sosial dan adat terganggu oleh kehadiran aparat militer di sekolah, gereja, dan pasar.
Tradisi lokal memudar karena ketakutan, pengungsian, dan gangguan aktivitas budaya. Banyak masyarakat adat yang mulai kehilangan rasa memiliki terhadap tanah dan identitas budayanya.

Operasi juga Militer merupakan bentuk pemiskinan sistemik karena terhentinya aktivitas ekonomi masyarakat kampung. Militerisasi membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam (tambang, logging, sawit) yang tidak menguntungkan masyarakat lokal dan hasilnya menetapkan Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia, meskipun kaya sumber daya.

Pengiriman pasukan untuk Operasi Militer di Papua juga sering menjadi alat pemukul yang efektif bagi Aktivis dan demokrasi di Papua. Aktivis damai selalu ditangkap atau diintimidasi, ekspresi politik direspons dengan kekuatan militer. Karena Militerisasi terus membungkam ruang sipil dan demokrasi lokal.

Operasi militer yang sangat masif, tentu saja membatasi akses media dan pemantau independen ke Papua, dan ini tentu saja memberikan transparansi dan akuntabilitas.
Masyarakat internasional menilai Papua sebagai wilayah yang dilindungi dan dilindungi, merusak citra Indonesia di mata dunia.

PBB dan organisasi HAM internasional beberapa kali melakukan pencarian independen, namun aksesnya sering ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Hingga hari ini, pengiriman atau penambahan pasukan dan operasi militer masih sangat masif dilakukan pemerintah Indonesia diatas tanah Papua.

Beberapa lembaga penting yang melakukan pemantauan terhadap operasi militer Indonesia di Papua, menyebutkan bahwa informasi jumlah pengungsi akibat operasi militer dan konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPNPB-OPM, per September 2024 hingga Mei 2025, diperkiraan mencapai 80 - 90.000 pengungsi.

Berikut adalah beberapa daftar Operasi Militer Indonesia diatas tanah Papua, sejak 1961 hingga hari ini :

1. OPERASI TRIKORA( 1961 -1962)
2. OPERASI JAYAWIJAYA( 1963 - 1965)
3. OPERASI WISNUMURTI ( 1963 -1965)
4. OPERASI SADAR ( 1965)
5. OPERASI BHARATA YUDHA( 1966 - 1967)
6. OPERASI WIBAWA ( 1967)
7. OPERASI PEPERA ( 1961 - 1969)
8. OPERASI TUMPAS ( 1967 -1970)
9.OPERASI PAMUNGKAS ( 1971 - 1977)
10. OPERASI KOTEKA ( 1977 - 1978)
11. OPERASI SENYUM (1979 - 1980)
12. OPERASI GAGAK 1 ( 1983 - 1986)
13 OPERASI KASUARI 1 ( 1986 - 1987)
14. OPERASI KASUARI 2 ( 1988 - 1989)
15. OPERASI KASUARI 3 ( 1989 - 1990)
16. OPERASI RAJAWALI 1 (1989 - 1990)
17. OPERASI RAJAWALI 2 ( 1990 - 1995)
18. OPERASI SADAR MATOA 1( 1998 -2000)
19. OPERASI SADAR MATOA 2 ( 2001 - 2004)
20. OPERASI SADAR MATOA 3 ( 2004 - 2005,)
21. OPERASI DAMAI KARTENS 1( 2005 - _ 2009)
22. OPERASI DAMAI KARTENS 2 ( 2009 - 2015)
23. OPERASI DAMAI KARTENS 3 ( 2015 - 2020)
24. OPERASI DAMAI KARTENS 4 ( 2020 - 2025).

Berdasarkan uraian tentang Operasi Militer dan pelanggaran HAM diatas, maka kami mengeluarkan beberapa poin yang menjadi tuntutan kami kepada Nemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai berikut :

1. Segera menarik pasukan militer Organik dan non-organik (TNI dan Brimob) dari seluruh wilayah Papua, terutama dari wilayah-wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo.

2. Menghentikan status militerisasi Papua dan mengembalikan fungsi keamanan ke ranah sipil melalui kepolisian setempat yang profesional dan menghormati HAM.

3. Menuntut transparansi dan akuntabilitas atas operasi militer yang menyebabkan pengungsian massal dan korban sipil, termasuk investigasi independen terhadap dugaan pelanggaran HAM berat.

4. Menolak pendekatan keamanan sebagai solusi utama konflik Papua dan mendesaknya dialog damai yang dimediasi oleh pihak netral, seperti gereja, tokoh adat, atau pihak internasional.

5. Memberikan aksesnya seluas-luasnya kepada lembaga kemanusiaan, media independen, dan pemantau HAM ke wilayah konflik, yang selama ini dibatasi dengan dalih keamanan.

6. Membentuk tim independen nasional dan/atau internasional untuk mengusut kekerasan aparat di Papua, termasuk peristiwa penembakan warga, penyiksaan, dan perusakan kampung.

7. Menghentikan operasi perusahaan-perusahaan asing yang terbukti atau diduga kuat menjadi pemicu konflik sosial dan pelanggaran HAM, seperti PT Freeport Indonesia di Mimika.

8. Menuntut audit menyeluruh terhadap perizinan, dampak lingkungan, dan kontribusi sosial perusahaan asing di Papua, terutama yang beroperasi di wilayah adat dan konservasi.

9. Meminta pertanggungjawaban perusahaan asing yang menggunakan jasa aparat bersenjata untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, yang menyebabkan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal.

10. Menolak eksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak melibatkan persetujuan bebas dan sadar (FPICon) dari masyarakat adat.

11. Mendorong nasionalisasi atau pengawasan ketat terhadap seluruh proyek pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur yang dilakukan oleh perusahaan asing, demi melindungi hak-hak masyarakat Papua.

12. Menghentikan ekspansi industri ekstraktif yang memperparah penggusuran, perampasan tanah adat, dan kerusakan lingkungan, yang sering dilindungi oleh kekuatan militer bersenjata.

***

"???? ๐˜๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต๐˜ช ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฉ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฑ, ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฉ, ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ด๐˜ญ๐˜ช ๐˜—๐˜ข๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ข!"

"๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ & ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™–"

#HancurkanImperialisme
#HapuskanKolonialisme
#LawanMiliterisme
#SelamatkanTanahAdatDanManusiaPapua
#MasyarakatAdatMerdekaPapua