TEORI

5/cate1/TEORI

ANALISA

6/cate2/ANALISA

SASTRA DAN BUDAYA

6/cate3/SASTRA DAN BUDAYA

PERNYATAAN SIKAP

5/cate4/PERNYATAAN SIKAP

FOTO

5/cate5/FOTO

Video

5/cate6/VIDEO

Recent post

๐๐š๐ฌ๐š๐ฅ ๐Œ๐š๐ค๐š๐ซ ๐’๐ฎ๐๐š๐ก ๐“๐ข๐๐š๐ค ๐‹๐š๐ ๐ข ๐‘๐ž๐ฅ๐ž๐ฏ๐š๐ง

Saat Anggota Masyarakat Adat Merdeka Papua (MAI-P) berkunjung di Lapas Sorong temui  Tahanan Politik (TAPOL) Papua Barat (NFRPB)

Oleh MAI-P KK Sorong

Pasal makar dalam KUHP Indonesia merupakan warisan langsung dari pemerintah kolonial Belanda, yang digunakan untuk menindas gerakan perlawanan pribumi dan nasionalis Indonesia kala itu, seperti Soekarno, Bung Hatta dan Tan Malaka, artinya: asalnya bukan dari semangat demokrasi, tetapi dari upaya penjajahan dan penundukan rakyat, dan juga sering digunakan untuk melindungi kekuasaan.

Dalam era pascareformasi, ketika Indonesia mengakui pentingnya supremasi hukum, kebebasan berekspresi, dan perlindungan HAM, penggunaan pasal makar sangat bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, dan menjadi alat pembungkaman terhadap aktivisme politik damai.

Pasal makar di KUHP sangatlah kabur dan multitafsir. Misalnya, Pasal 106 KUHP berbunyi : "Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau supaya wilayah itu memisahkan diri dari negara..."

Namun, “makar” di sini tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga Aktivitas politik damai seperti mengibarkan bendera, menyuarakan referendum, atau membentuk organisasi politik alternatif, dapat dikriminalisasi. Dan Negara juga bisa dengan bebas menuduh “makar” tanpa perlu bukti kekerasan atau ancaman nyata.

Banyak tindakan yang dijerat dengan pasal makar sebenarnya adalah hak politik dan hak sipil yang sah secara internasional, Hak untuk menentukan nasib sendiri, Hak untuk menyatakan pendapat politik, serta Hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.

Penggunaan pasal makar untuk menekan hak-hak ini berarti telah melanggar ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang sudah diratifikasi Indonesia.

๐ƒ๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐Š๐จ๐ง๐ญ๐ž๐ค๐ฌ ๐๐š๐ฉ๐ฎ๐š

Di Papua, pasal makar telah menjadi alat utama untuk, menekan aspirasi kemerdekaan atau referendum, mengkriminalisasi perjuangan politik damai, dan Menutup ruang dialog dan penyelesaian damai.

Padahal, tuntutan rakyat Papua—termasuk referendum atau pengakuan sejarah—merupakan bagian dari dinamika politik yang seharusnya dijawab dengan pendekatan politik, bukan represif hukum pidana.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, Pasal makar hari ini sudah tidak relevan lagi dalam sistem hukum demokrasi modern. Karena Ia lahir dari konteks kolonial, tidak jelas, multitafsir, dan rawan digunakan untuk menindas ekspresi politik yang sah.

Dalam semangat demokrasi, pasal ini seharusnya dihapus atau direvisi total, dan perjuangan politik—termasuk gerakan kemerdekaan seperti di Papua—harus dijawab dengan dialog, rekonsiliasi sejarah, dan penghormatan terhadap HAM.

๐๐จ๐ฅ๐ซ๐ž๐ฌ๐ญ๐š ๐’๐จ๐ซ๐จ๐ง๐  ๐Š??? ๐๐š๐ซ๐š๐ญ (sudah lama)

"๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ & ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™–"

Organisasi Kontra-Revolusi: Vaksin Penjinak Perlawanan Kaum Muda Papua

๐™ƒ๐™ž๐™™๐™ช๐™ฅ ๐™ž๐™ฉ๐™ช ๐™ฉ๐™ž๐™™๐™–๐™  ๐™จ๐™š๐™ก๐™–๐™ก๐™ช ๐™–๐™จ๐™ž๐™ ! ๐™†๐™–๐™™๐™–๐™ฃ๐™œ ๐™—๐™š๐™ง๐™ž๐™จ๐™ž๐™  ๐™™๐™–๐™ฃ ๐™–๐™™๐™– ๐™ฎ๐™–๐™ฃ๐™œ ๐™จ๐™ž๐™ง๐™ž๐™ (foto Pribadi Ebis)

Oleh 
Elisa Bisulu (Ebis)

Di tengah kobaran semangat perlawanan kaum muda Papua melawan kolonialisme dan ketidakadilan struktural, negara kolonial Indonesia tidak tinggal diam.

Bukannya memenuhi tuntutan keadilan atau mengakui hak menentukan nasib sendiri, Pemerintah Kolonial justru merespons dengan strategi klasik imperium: membentuk organisasi kontra-revolusioner yang dibungkus sebagai “wadah aspirasi generasi muda”.

Organisasi-organisasi ini tidak tampak represif. Mereka hadir dengan wajah ramah, jargon nasionalis, dan janji perubahan.

Namun di balik itu, mereka bekerja sistematis untuk meredam, menjinakkan, dan mengalihkan energi perlawanan menjadi partisipasi semu dalam sistem yang menindas.

Mereka adalah vaksin ideologis yang tidak membunuh revolusi secara frontal. Melainkan menyuntikkan ilusi kompromi ke dalam tubuh gerakan.

Dalam teori Marxisme, negara bukanlah entitas netral, melainkan alat dominasi kelas penguasa atas kelas tertindas. Dalam konteks kolonialisme internal seperti di Papua, negara berfungsi sebagai agen kapitalisme dan imperialisme yang melanggengkan kekuasaan pusat atas wilayah koloni.

Louis Althusser menyebut ini sebagai bagian dari “aparatus ideologis negara”, yang berfungsi melalui lembaga-lembaga pendidikan, media, agama, dan organisasi sosial, termasuk organisasi pemuda binaan negara.

Organisasi kontra-revolusioner adalah bagian dari aparatus ini. Dengan retorika “persatuan nasional”, “pemuda produktif”, “generasi emas”, dan “pembangunan damai”, mereka mengaburkan akar konflik: penindasan struktural, eksploitasi kapitalisme global, dan pengingkaran hak kemerdekaan.

Mereka menciptakan narasi bahwa perubahan bisa dicapai dari dalam sistem kolonial. Padahal sistem itu sendirilah sumber persoalan.

Pengalaman sejarah membuktikan, kontra-revolusi tidak selalu datang dalam bentuk militeristik. Di Amerika Latin misalnya, rezim-rezim otoriter dan imperialisme AS banyak menggunakan LSM, gereja, dan lembaga sosial sebagai alat kooptasi.

Di Aljazair selama perjuangan anti-kolonial melawan Prancis, intelektual seperti Frantz Fanon menjelaskan bagaimana elite pribumi yang dikompromikan, digunakan untuk memadamkan semangat revolusi rakyat.

Papua dan Wajah Baru Penjajahan

Sejak awal 2000-an hingga kini, kaum muda Papua telah menjadi motor utama kesadaran politik rakyat. Mereka membentuk organisasi-organisasi seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), FNMPP, MAI-P, SONAMAPPA, GARDA-P, Gerakan Mahasiswa Papua (GMP), beserta banyak komunitas basis lainnya yang menyuarakan hak kemerdekaan dan menolak kolonialisme.

Menghadapi arus radikalisasi politik ini, negara kolonial Indonesia tidak hanya mengandalkan aparat keamanan, tapi juga memproduksi organisasi tandingan. Misalnya, Papua Muda Inspiratif (PMI)Papua Youth Creative Hub, atau forum-forum seperti “Dialog Papua” yang didukung oleh Badan Intelijen Negara (BIN).

Program-program tersebut melibatkan elite lokal dan segelintir pemuda binaan untuk menyuarakan narasi “Papua damai” atau “Pemuda Papua mitra pemerintah” dan lain-lain. Dalam format seperti ini, kontra-revolusi hadir dalam bentuk yang lebih licik: pelatihan kepemudaan, beasiswa, pengembangan wirausaha, bahkan panggung internasional.

Semuanya dikemas untuk menciptakan generasi muda yang “produktif” tetapi jinak, “kritis” tetapi loyal terhadap sistem kolonial.

Ilusi Perubahan dalam Bingkai Penindasan

Inilah bentuk paling berbahaya dari kontra-revolusi modern: ketika musuh tidak datang dengan senjata, melainkan dengan proyek. Ketika penjajahan tidak lagi menembak, melainkan mengasuh.

Pemerintah kolonial menjinakkan gerakan perlawanan penindansan dengan kooptasi, bukan hanya dengan cara represi terbuka. Hal ini sejalan dengan strategi hegemoni ala Antonio Gramsci: dominasi tidak hanya dijaga dengan kekerasan, tetapi juga dengan konsensus palsu.

Kontra-revolusi bekerja dengan menciptakan dualitas semu antara “radikal” dan “konstruktif”. Mereka mendorong kaum muda Papua untuk menjadi “bagian dari solusi,” yakni solusi yang tidak pernah menyentuh akar penjajahan. Mereka menggantikan tuntutan kemerdekaan dengan program pemberdayaan, padahal yang dibutuhkan rakyat adalah pembebasan.

Sejarah rakyat tertindas dunia memberi banyak pelajaran. Di Afrika Selatan, gerakan melawan apartheid tidak bisa dibungkam meski pemerintah kolonial membentuk berbagai organisasi hitam pro-rezim. Kaum muda dan mahasiswa tetap setia pada garis radikal.

Di Kuba sebelum Revolusi 1959, rezim Batista juga mengandalkan kelompok pemuda binaan pemerintah AS, namun gagal mengimbangi gerakan radikal Fidel Castro dan Che Guevara.

Di Papua, kita menghadapi bentuk modern dari strategi yang sama. Negara kolonial Indonesia mencoba memotong mata rantai radikalisasi kaum muda dengan membentuk organisasi tandingan. Ini adalah taktik kontra-revolusi yang telah digunakan selama berabad-abad oleh rezim kolonial di seluruh dunia.

Menjaga Arah Perjuangan: Dari Ilusi ke Emansipasi

Kaum muda Papua tidak boleh terjebak dalam jebakan kontra-revolusi ini. Kesadaran politik harus terus diasah. Diskusi-diskusi independen, pendidikan kritis, dan keterhubungan dengan sejarah perjuangan rakyat tertindas lain harus dibangun.

Organisasi rakyat harus memperkuat garis perjuangan emansipatoris: bukan sekadar perubahan kosmetik dalam sistem kolonial, tetapi pembebasan total dari sistem itu sendiri. Sebab pembebasan sejati tidak akan lahir dari rahim sistem yang menindas, melainkan dari rahim perlawanan yang radikal, militan, dan berpihak pada rakyat.

Jika tidak, maka seperti yang dikatakan Rosa Luxemburg, rakyat hanya akan dihadapkan pada dua pilihan: sosialisme atau barbarisme. Dalam konteks Papua, itu berarti: kemerdekaan sejati atau integrasi palsu yang terus-menerus menyamarkan penindasan sebagai pembangunan.

Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua. Lawan Kontra-Revolusi dengan Kesadaran dan Organisasi!

Penulis adalah Anggota Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) Komite Kota Sorong.

TNI Melakukan Penyerobotan Tanah Adat Milik Marga Kwipalo Di Merauke


TNI Melakukan Penyerobotan Tanah Adat Milik Marga Kwipalo Di Merauke

Tentara Nasional Indonesia (TNI) Penyerobotan atau melakukan perampasan sepihak tanah adat milik masyarakat marga Kwipalo di kampung Kakyo, distrik Jagebob, Kabupaten Merauke  , untuk kepentingan pembangunan KODAM (Komando Daerah Militer) XVII Cenderawasih . Senin 23 Juni 2025.

Tanah adat milik masyarakat adat Marga Kwipalo, tanpa izin dari pemilik hak ulayat merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan hak masyarakat adat. Hak ulayat adalah hak kolektif masyarakat adat atas wilayah adatnya, yang diakui secara hukum dalam UUD 1945 (Pasal 18B ayat 2) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam konteks Papua, hak ini semakin dikuatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU No. 21 Tahun 2001).

Pembangunan Kodam (Komando Daerah Militer) di atas tanah adat tanpa persetujuan mencerminkan pendekatan militeristik terhadap wilayah Papua, bukan pendekatan dialog dan keadilan. Ini menunjukkan pola lama di mana tanah adat sering menjadi sasaran proyek militer yang memperkuat kehadiran negara melalui aparat bersenjata, yang pada gilirannya memperbesar rasa ketakutan dan ketidakamanan bagi masyarakat sipil.

Dalam hukum internasional, terutama melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), dikenal prinsip FPIC—persetujuan bebas, didahului dengan informasi, dan tanpa paksaan. Pembangunan proyek apapun di tanah adat wajib melalui proses FPIC. Jika tidak dilakukan, berarti negara melakukan tindakan ilegal menurut norma HAM internasional.

Ketika negara (melalui TNI) mengambil tanah tanpa izin, kepercayaan masyarakat adat terhadap negara akan semakin terkikis. Di wilayah seperti Papua, yang telah lama mengalami ketegangan antara negara dan masyarakat adat, tindakan semacam ini bisa memperburuk situasi dan memperkuat tuntutan separatisme karena negara dianggap tidak melindungi rakyatnya sendiri.

Jika dibiarkan, praktik-praktik seperti ini menjadi bentuk kolonialisme internal yang melemahkan demokrasi dan keadilan sosial, terutama di wilayah yang telah lama mengalami ketimpangan dan kekerasan negara.

"๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ & ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™–"







๐Œ๐š๐ฌ๐ฒ๐š๐ซ๐š๐ค๐š๐ญ ๐€๐๐š๐ญ ๐Œ๐จ๐ข ๐๐ข ๐–๐ข๐ฅ๐š๐ฒ๐š๐ก ๐€๐๐š๐ญ ๐Š๐ฅ๐š๐ฌ๐จ ๐’๐จ๐ซ๐จ๐ง๐ , ๐“๐จ๐ฅ๐š๐ค ๐ˆ๐ง๐ฏ๐ž๐ฌ๐ญ๐š๐ฌ๐ข ๐๐ž๐ซ๐ค๐ž๐›๐ฎ๐ง๐š๐ง ๐Š๐ž๐ฅ๐š๐ฉ๐š ๐’๐š๐ฐ๐ข๐ญ

Masyrakat adat Moi di Sorong, melakukan penolakan investasi kepala sawit di wilayah adat mereka. 

Melalui penandatanganan Petisi pernyataan sikap bersama, Masyarakat Adat Moi (Kelim) di Wilayah Adat Klaso pada (Sabtu, 21 Juni 2025), dengan tegas menolak rencana pembukaan lahan untuk kepentingan perkebunan Kelapa Sawit yang akan dilakukan oleh "PT.Fajar Surya Persada Group" Di Wilayah Adat Klaso.

Pernyataan tegas penolakan terhadap rencana pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT. Fajar Surya Persada Group merupakan langkah strategis dan krusial dalam membela hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka. Ini adalah bentuk nyata dari perlawanan terhadap sistem ekonomi ekstraktif yang seringkali tidak partisipatif, karena pengambilan keputusan dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat setempat.

Ekspansi perusahaan sawit juga sering mrampas hak ulayat, yang secara hukum dan moral merupakan bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup mereka. Dan juga seringkali mengabaikan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya sendiri, demi mengejar keuntungan perusahaan yang besar.

Penolakan ini bukan hanya bentuk proteksi terhadap tanah, tetapi juga terhadap budaya, sistem kepercayaan, relasi ekologis, dan eksistensi kolektif masyarakat adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Wilayah Adat Klaso secara strategis juga merupakan bagian dari wilayah hutan hujan tropis Papua yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Pembukaan lahan untuk kepentingan perkebuban Kelapa Sawit secara besar-besaran tentu saja akan menghilangkan habitat satwa endemik Papua di wilayah Adat tersebut, dan juga dapat merusak siklus air alami dan mempercepat erosi tanah yang berpotensi menyebabkan lonjakan emisi karbon dari hilangnya tutupan hutan.

Penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam sistem monokultur sawit akan meracuni tanah dan air. Aktivitas mekanisasi akan mempercepat kerusakan struktur tanah dan memicu banjir saat musim hujan tiba.

Sungai dan mata air yang menjadi sumber air minum dan kebutuhan sehari-hari masyarakat akan terkontaminasi atau mengering akibat perubahan tata guna lahan. Pembukaan lahan besar berkontribusi pada penurunan kualitas air, bahkan krisis air bersih bagi masyarakat setempat.

Pernyataan sikap Masyarakat Adat Moi (Kelim) adalah langkah penting dalam mempertahankan kedaulatan ekologis dan kultural atas tanah leluhur mereka. Penolakan terhadap PT. Fajar Surya Persada Group adalah bentuk resistensi terhadap kapitalisme ekstraktif yang menghancurkan alam demi keuntungan sesaat.

Proyek sawit bukan hanya ancaman ekologis, tapi juga ancaman eksistensial terhadap masyarakat adat. Oleh karena itu, perlawanan ini harus didukung oleh gerakan solidaritas yang lebih luas — baik di tingkat nasional maupun internasional — serta menjadi panggilan moral untuk merevisi total model pembangunan yang merusak.

"๐™Ž๐™š๐™ก๐™–๐™ข๐™–๐™ฉ๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™–๐™ฃ๐™–๐™ ๐˜ผ๐™™๐™–๐™ฉ & ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™จ๐™ž๐™– ๐™‹๐™–๐™ฅ๐™ช๐™–"


ALJARA : Menolak Perusahan Tambang Nikel Di Raja Ampat

Masa aksi ALJARA menolak aktivitas izin pertambagan nikel depan kantor DPRD Raja Ampat (Foto,Adin).

Koranmaip--  Ratusan masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) melakukan aksi protes menolak aktivitas dan izin pertambangan nikel Raja Ampat di Kantor DPRD Kabupaten Raja Ampat. Selasa,
26/5/2025. 

Masa aksi juga membentangkan sapanduk utama berukuran 3 meter depan kantor PPRD Jaya Ampat bertulisan " SAVE RAJA AMPAT : Cabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel Dari Pulau Manyaifun Batang Pele." Kami Bisa Hidup Tanpa Tambang Nikel, Tapi kami tidak bisa hidup Tanpa Kelestarian Alam. 

Orasi Mama Enge Dimara " Kami minta DPRD bisa mendegarkan aspirasi kami, karena bapak dong yang duduk disini kami rakyat yang pilih. Kami masyrakat bisa hidup sendiri jadi tolong jangan ganggu kami dengan cara meruka alam kami. Kami bisa hidup tanpa Tambang Niket, tapi kami tidak bisa hidp tanpa kelstarian alam. 



Salah satu Putri Raja Ampat Adin dalam statusnya facebooknya menyatakan " Kami menolak dengan tegas rencana pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat. Tanah dan laut Raja Ampat bukan ruang untuk eksploitasi, melainkan rumah bagi kehidupan manusia, budaya, dan keanekaragaman hayati yang mendunia. Kehadiran tambang nikel akan membawa ancaman serius terhadap ekosistem laut yang rentan, merusak sumber penghidupan masyarakat adat, serta menghilangkan nilai sakral dan spiritual yang diwariskan secara turun-temurun.

Ada pun beberapa pernyataan sikap Aljara yang di posting oleh PusakaPertama mendesak pemerintah mencabut dan menghentikan izin PT Mulia Raymond Perkasa. Kedua  menolak ekspansi dan eksploitasi perusahaan pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Ketiga  meminta pemerintah mengevaluasi semua izin pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat.