Mengingat Luka Sejarah : Belajar Dari Jerman, Bercermin Pada Indonesia

Tidak ada komentar

Peringatan Holocaust di Berlin, Jerman(wikipedia commons)
Oleh : Elisa Bisulu

(Sistem Penididkan di Jerman hari ini,mendididik generasi nya untuk malu terhadap masa lalunya yang kelam.)

Bangsa Jerman pasca Perang Dunia II dihadapkan pada kenyataan paling kelam dalam sejarah mereka, yakni “Holocaust”. Di mana, dalam peristiwa tersebut jutaan orang Yahudi dan kelompok minoritas lainnya dibantai di bawah kepemimpinan "Adolf Hitler" yang Antisemitisme.

Namun, sistem pendidikan sejarah di Jerman saat ini secara sistematis menanamkan rasa malu, tanggung jawab moral, serta penolakan terhadap ideologi antisemitisme. Generasi muda Jerman hari ini, dididik bukan untuk menghapus, melainkan untuk mengingat dan mengakui, sehingga tragedi serupa tidak terulang kembali. Rasa malu ini dipelihara dalam wujud monumen, museum, kurikulum sekolah, hingga kebijakan politik yang melarang simbol-simbol Nazi.

Berbeda dengan itu, di Indonesia, sejarah kelam mengenai tindak kekerasan negara terhadap kelompok tertentu jarang diakui secara terbuka. Masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku hingga Etnis Tionghoa masih menyimpan luka akibat represi militer, diskriminasi, dan memunculkan aspirasi politik mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Bertolak belakang dengan kenyataan dalam sejarah Jerman diatas, narasi resmi negara Indonesia cenderung menutupi atau mereduksi sejarah seperti itu, sementara korban dan keluarganya jarang mendapat pengakuan dan keadilan. Alih-alih malu, sering kali ada mengagungkan atas “persatuan” dengan mengorbankan pengakuan atas kelompok penderita yang ditundukkan.

Fenomena ini bukan unik di Indonesia. Sejarah dunia penuh contoh bagaimana negara berjuang (atau gagal) berdamai dengan masa lalunya ; seperti halnya di Turki hingga kini menolak mengakui genosida Armenia pada tahun 1915, meskipun bukti sejarah kuat mendukung peristiwa itu. Begitupun juga, di Amerika Serikat masih berproses menghadapi dosa berkepanjangan dan diskriminasi rasial terhadap warga kulit hitam maupun penduduk asli.
Situasi serupa juga terjadi terhadap rakyat Jepang, yang kerap dikritik karena setengah hati mengakui kekejaman masa pendudukan militernya di Asia, termasuk eksploitasi “jugun ianfu” (wanita penghibur). Hingga Afrika Selatan dengan model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mencoba menghadapi trauma apartheid lewat pengakuan, meski tidak sempurna.

Dari sini, kita bisa melihat perbedaan mendasar, bahwa bangsa yang berani mengakui kesalahan cenderung memiliki pijakan moral yang lebih kuat untuk membangun masa depan, sementara bangsa yang menolak bercermin kerap mengembalikan luka yang sama dalam bentuk diskriminasi baru.

"Bangsa
yang besar dan kuat  𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯 , 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘮𝘢𝘢𝘧 , 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘵𝘶𝘱𝘪𝘯𝘺𝘢 ." 

𝙎𝙚𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙣𝙖𝙝 𝘼𝙙𝙖𝙩 DAN 𝙈𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖 " 

Penulis adalah anggota organisasi Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) Komite Kota Sorong


Tidak ada komentar

Posting Komentar