![]() |
Gambar Operasi Militer Di Papua (Ilustrasi Google) |
Operasi militer adalah tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara dalam rangka mencapai tujuan strategis, baik dalam konteks:
• Operasi Militer untuk Perang (OMP): Melibatkan konflik bersenjata terbuka.
• Operasi Selain Militer Perang (OMSP): Seperti misi perdamaian, bantuan bencana, pengamanan wilayah, atau penanggulangan terorisme.
Melaksanakan operasi militer bukan sekedar keputusan militer, tetapi merupakan proses politik dan hukum yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Negara demokratis seperti Indonesia mewajibkan adanya kontrol sipil atas militer, terutama melalui persetujuan Presiden dan DPR, agar penggunaan kekuatan senjata tetap sah, proporsional, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Fungsi dan tugas TNI, termasuk pelaksanaan operasi militer untuk perang dan selain perang harus mendapat persetujuan politik negara, dalam hal ini Presiden dan DPR, terutama jika melibatkan Pengerahan pasukan ke luar negeri, dan operasi besar dalam negeri yang berdampak pada hak-hak sipil.
Jika pemerintah atau TNI melakukan operasi militer tanpa persetujuan sah, maka dapat dianggap inkonstitusional, berpotensi menimbulkan krisis politik, dan dapat digugat oleh DPR atau Mahkamah Konstitusi karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Dalam Konteks Papua, operasi militer di Papua secara resmi tidak dinyatakan sebagai "operasi militer untuk perang", namun banyak unsur pelibatan militer yang intensif dan sistematis, terutama untuk mengatasi gerakan perlawanan bersenjata pro kemerdekaan Papua (TPNPB-OPM).
Pemerintah mengklaim ini adalah bagian dari penegakan hukum dan keamanan nasional, namun kritik terhadap pelanggaran HAM, pelanggaran transparansi, dan minimnya partisipasi DPR menjadikan sorotan domestik dan internasional.
Sejak Operasi Trikora (1961), Papua menjadi wilayah konflik yang menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan warga sipil di luar hukum, penghapusan paksaan, penyiksaan, penipuan, kekerasan seksual, dan pemindahan paksaan warga sipil, serta penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivitasme.
Menurut laporan Amnesty International, KontraS, Komnas HAM, serta pengakuan korban, pelanggaran-pelanggaran ini seringkali dilakukan tanpa akuntabilitas hukum.
Akibat banyaknya Operasi Militer Indonesia di Papua, akhirnya Masyarakat Papua hidup dalam ketakutan permanen terhadap aparat bersenjata. Anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan konflik bersenjata, dan kekerasan dipandang sebagai hal yang biasa.
Stigmatisasi terhadap orang Papua sebagai "separatis" atau "musuh negara" memperparah alienasi sosial dan psikologis. Trauma kolektif ini kemudian diturunkan lintas generasi, menghambat proses pembangunan masyarakat Papua yang sehat secara mental.
Dampak dari Operasi Militer di Papua, membuat banyak masyarakat terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena wilayah mereka dijadikan lokasi operasi militer, dan juga ruang sosial dan adat terganggu oleh kehadiran aparat militer di sekolah, gereja, dan pasar.
Tradisi lokal memudar karena ketakutan, pengungsian, dan gangguan aktivitas budaya. Banyak masyarakat adat yang mulai kehilangan rasa memiliki terhadap tanah dan identitas budayanya.
Operasi juga Militer merupakan bentuk pemiskinan sistemik karena terhentinya aktivitas ekonomi masyarakat kampung. Militerisasi membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam (tambang, logging, sawit) yang tidak menguntungkan masyarakat lokal dan hasilnya menetapkan Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia, meskipun kaya sumber daya.
Pengiriman pasukan untuk Operasi Militer di Papua juga sering menjadi alat pemukul yang efektif bagi Aktivis dan demokrasi di Papua. Aktivis damai selalu ditangkap atau diintimidasi, ekspresi politik direspons dengan kekuatan militer. Karena Militerisasi terus membungkam ruang sipil dan demokrasi lokal.
Operasi militer yang sangat masif, tentu saja membatasi akses media dan pemantau independen ke Papua, dan ini tentu saja memberikan transparansi dan akuntabilitas.
Masyarakat internasional menilai Papua sebagai wilayah yang dilindungi dan dilindungi, merusak citra Indonesia di mata dunia.
PBB dan organisasi HAM internasional beberapa kali melakukan pencarian independen, namun aksesnya sering ditolak oleh pemerintah Indonesia.
Hingga hari ini, pengiriman atau penambahan pasukan dan operasi militer masih sangat masif dilakukan pemerintah Indonesia diatas tanah Papua.
Beberapa lembaga penting yang melakukan pemantauan terhadap operasi militer Indonesia di Papua, menyebutkan bahwa informasi jumlah pengungsi akibat operasi militer dan konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPNPB-OPM, per September 2024 hingga Mei 2025, diperkiraan mencapai 80 - 90.000 pengungsi.
Berikut adalah beberapa daftar Operasi Militer Indonesia diatas tanah Papua, sejak 1961 hingga hari ini :
1. OPERASI TRIKORA( 1961 -1962)
2. OPERASI JAYAWIJAYA( 1963 - 1965)
3. OPERASI WISNUMURTI ( 1963 -1965)
4. OPERASI SADAR ( 1965)
5. OPERASI BHARATA YUDHA( 1966 - 1967)
6. OPERASI WIBAWA ( 1967)
7. OPERASI PEPERA ( 1961 - 1969)
8. OPERASI TUMPAS ( 1967 -1970)
9.OPERASI PAMUNGKAS ( 1971 - 1977)
10. OPERASI KOTEKA ( 1977 - 1978)
11. OPERASI SENYUM (1979 - 1980)
12. OPERASI GAGAK 1 ( 1983 - 1986)
13 OPERASI KASUARI 1 ( 1986 - 1987)
14. OPERASI KASUARI 2 ( 1988 - 1989)
15. OPERASI KASUARI 3 ( 1989 - 1990)
16. OPERASI RAJAWALI 1 (1989 - 1990)
17. OPERASI RAJAWALI 2 ( 1990 - 1995)
18. OPERASI SADAR MATOA 1( 1998 -2000)
19. OPERASI SADAR MATOA 2 ( 2001 - 2004)
20. OPERASI SADAR MATOA 3 ( 2004 - 2005,)
21. OPERASI DAMAI KARTENS 1( 2005 - _ 2009)
22. OPERASI DAMAI KARTENS 2 ( 2009 - 2015)
23. OPERASI DAMAI KARTENS 3 ( 2015 - 2020)
24. OPERASI DAMAI KARTENS 4 ( 2020 - 2025).
Berdasarkan uraian tentang Operasi Militer dan pelanggaran HAM diatas, maka kami mengeluarkan beberapa poin yang menjadi tuntutan kami kepada Nemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai berikut :
1. Segera menarik pasukan militer Organik dan non-organik (TNI dan Brimob) dari seluruh wilayah Papua, terutama dari wilayah-wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo.
2. Menghentikan status militerisasi Papua dan mengembalikan fungsi keamanan ke ranah sipil melalui kepolisian setempat yang profesional dan menghormati HAM.
3. Menuntut transparansi dan akuntabilitas atas operasi militer yang menyebabkan pengungsian massal dan korban sipil, termasuk investigasi independen terhadap dugaan pelanggaran HAM berat.
4. Menolak pendekatan keamanan sebagai solusi utama konflik Papua dan mendesaknya dialog damai yang dimediasi oleh pihak netral, seperti gereja, tokoh adat, atau pihak internasional.
5. Memberikan aksesnya seluas-luasnya kepada lembaga kemanusiaan, media independen, dan pemantau HAM ke wilayah konflik, yang selama ini dibatasi dengan dalih keamanan.
6. Membentuk tim independen nasional dan/atau internasional untuk mengusut kekerasan aparat di Papua, termasuk peristiwa penembakan warga, penyiksaan, dan perusakan kampung.
7. Menghentikan operasi perusahaan-perusahaan asing yang terbukti atau diduga kuat menjadi pemicu konflik sosial dan pelanggaran HAM, seperti PT Freeport Indonesia di Mimika.
8. Menuntut audit menyeluruh terhadap perizinan, dampak lingkungan, dan kontribusi sosial perusahaan asing di Papua, terutama yang beroperasi di wilayah adat dan konservasi.
9. Meminta pertanggungjawaban perusahaan asing yang menggunakan jasa aparat bersenjata untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, yang menyebabkan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal.
10. Menolak eksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak melibatkan persetujuan bebas dan sadar (FPICon) dari masyarakat adat.
11. Mendorong nasionalisasi atau pengawasan ketat terhadap seluruh proyek pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur yang dilakukan oleh perusahaan asing, demi melindungi hak-hak masyarakat Papua.
12. Menghentikan ekspansi industri ekstraktif yang memperparah penggusuran, perampasan tanah adat, dan kerusakan lingkungan, yang sering dilindungi oleh kekuatan militer bersenjata.
***
"???? 𝘏𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘩𝘢𝘬 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱, 𝘩𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘯𝘢𝘩, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘳𝘵𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘴𝘭𝘪 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢!"
"𝙎𝙚𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙣𝙖𝙝 𝘼𝙙𝙖𝙩 & 𝙈𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖"
#HancurkanImperialisme
#HapuskanKolonialisme
#LawanMiliterisme
#SelamatkanTanahAdatDanManusiaPapua
#MasyarakatAdatMerdekaPapua
• Operasi Militer untuk Perang (OMP): Melibatkan konflik bersenjata terbuka.
• Operasi Selain Militer Perang (OMSP): Seperti misi perdamaian, bantuan bencana, pengamanan wilayah, atau penanggulangan terorisme.
Melaksanakan operasi militer bukan sekedar keputusan militer, tetapi merupakan proses politik dan hukum yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Negara demokratis seperti Indonesia mewajibkan adanya kontrol sipil atas militer, terutama melalui persetujuan Presiden dan DPR, agar penggunaan kekuatan senjata tetap sah, proporsional, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Fungsi dan tugas TNI, termasuk pelaksanaan operasi militer untuk perang dan selain perang harus mendapat persetujuan politik negara, dalam hal ini Presiden dan DPR, terutama jika melibatkan Pengerahan pasukan ke luar negeri, dan operasi besar dalam negeri yang berdampak pada hak-hak sipil.
Jika pemerintah atau TNI melakukan operasi militer tanpa persetujuan sah, maka dapat dianggap inkonstitusional, berpotensi menimbulkan krisis politik, dan dapat digugat oleh DPR atau Mahkamah Konstitusi karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Dalam Konteks Papua, operasi militer di Papua secara resmi tidak dinyatakan sebagai "operasi militer untuk perang", namun banyak unsur pelibatan militer yang intensif dan sistematis, terutama untuk mengatasi gerakan perlawanan bersenjata pro kemerdekaan Papua (TPNPB-OPM).
Pemerintah mengklaim ini adalah bagian dari penegakan hukum dan keamanan nasional, namun kritik terhadap pelanggaran HAM, pelanggaran transparansi, dan minimnya partisipasi DPR menjadikan sorotan domestik dan internasional.
Sejak Operasi Trikora (1961), Papua menjadi wilayah konflik yang menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan warga sipil di luar hukum, penghapusan paksaan, penyiksaan, penipuan, kekerasan seksual, dan pemindahan paksaan warga sipil, serta penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivitasme.
Menurut laporan Amnesty International, KontraS, Komnas HAM, serta pengakuan korban, pelanggaran-pelanggaran ini seringkali dilakukan tanpa akuntabilitas hukum.
Akibat banyaknya Operasi Militer Indonesia di Papua, akhirnya Masyarakat Papua hidup dalam ketakutan permanen terhadap aparat bersenjata. Anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan konflik bersenjata, dan kekerasan dipandang sebagai hal yang biasa.
Stigmatisasi terhadap orang Papua sebagai "separatis" atau "musuh negara" memperparah alienasi sosial dan psikologis. Trauma kolektif ini kemudian diturunkan lintas generasi, menghambat proses pembangunan masyarakat Papua yang sehat secara mental.
Dampak dari Operasi Militer di Papua, membuat banyak masyarakat terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena wilayah mereka dijadikan lokasi operasi militer, dan juga ruang sosial dan adat terganggu oleh kehadiran aparat militer di sekolah, gereja, dan pasar.
Tradisi lokal memudar karena ketakutan, pengungsian, dan gangguan aktivitas budaya. Banyak masyarakat adat yang mulai kehilangan rasa memiliki terhadap tanah dan identitas budayanya.
Operasi juga Militer merupakan bentuk pemiskinan sistemik karena terhentinya aktivitas ekonomi masyarakat kampung. Militerisasi membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam (tambang, logging, sawit) yang tidak menguntungkan masyarakat lokal dan hasilnya menetapkan Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia, meskipun kaya sumber daya.
Pengiriman pasukan untuk Operasi Militer di Papua juga sering menjadi alat pemukul yang efektif bagi Aktivis dan demokrasi di Papua. Aktivis damai selalu ditangkap atau diintimidasi, ekspresi politik direspons dengan kekuatan militer. Karena Militerisasi terus membungkam ruang sipil dan demokrasi lokal.
Operasi militer yang sangat masif, tentu saja membatasi akses media dan pemantau independen ke Papua, dan ini tentu saja memberikan transparansi dan akuntabilitas.
Masyarakat internasional menilai Papua sebagai wilayah yang dilindungi dan dilindungi, merusak citra Indonesia di mata dunia.
PBB dan organisasi HAM internasional beberapa kali melakukan pencarian independen, namun aksesnya sering ditolak oleh pemerintah Indonesia.
Hingga hari ini, pengiriman atau penambahan pasukan dan operasi militer masih sangat masif dilakukan pemerintah Indonesia diatas tanah Papua.
Beberapa lembaga penting yang melakukan pemantauan terhadap operasi militer Indonesia di Papua, menyebutkan bahwa informasi jumlah pengungsi akibat operasi militer dan konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPNPB-OPM, per September 2024 hingga Mei 2025, diperkiraan mencapai 80 - 90.000 pengungsi.
Berikut adalah beberapa daftar Operasi Militer Indonesia diatas tanah Papua, sejak 1961 hingga hari ini :
1. OPERASI TRIKORA( 1961 -1962)
2. OPERASI JAYAWIJAYA( 1963 - 1965)
3. OPERASI WISNUMURTI ( 1963 -1965)
4. OPERASI SADAR ( 1965)
5. OPERASI BHARATA YUDHA( 1966 - 1967)
6. OPERASI WIBAWA ( 1967)
7. OPERASI PEPERA ( 1961 - 1969)
8. OPERASI TUMPAS ( 1967 -1970)
9.OPERASI PAMUNGKAS ( 1971 - 1977)
10. OPERASI KOTEKA ( 1977 - 1978)
11. OPERASI SENYUM (1979 - 1980)
12. OPERASI GAGAK 1 ( 1983 - 1986)
13 OPERASI KASUARI 1 ( 1986 - 1987)
14. OPERASI KASUARI 2 ( 1988 - 1989)
15. OPERASI KASUARI 3 ( 1989 - 1990)
16. OPERASI RAJAWALI 1 (1989 - 1990)
17. OPERASI RAJAWALI 2 ( 1990 - 1995)
18. OPERASI SADAR MATOA 1( 1998 -2000)
19. OPERASI SADAR MATOA 2 ( 2001 - 2004)
20. OPERASI SADAR MATOA 3 ( 2004 - 2005,)
21. OPERASI DAMAI KARTENS 1( 2005 - _ 2009)
22. OPERASI DAMAI KARTENS 2 ( 2009 - 2015)
23. OPERASI DAMAI KARTENS 3 ( 2015 - 2020)
24. OPERASI DAMAI KARTENS 4 ( 2020 - 2025).
Berdasarkan uraian tentang Operasi Militer dan pelanggaran HAM diatas, maka kami mengeluarkan beberapa poin yang menjadi tuntutan kami kepada Nemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai berikut :
1. Segera menarik pasukan militer Organik dan non-organik (TNI dan Brimob) dari seluruh wilayah Papua, terutama dari wilayah-wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo.
2. Menghentikan status militerisasi Papua dan mengembalikan fungsi keamanan ke ranah sipil melalui kepolisian setempat yang profesional dan menghormati HAM.
3. Menuntut transparansi dan akuntabilitas atas operasi militer yang menyebabkan pengungsian massal dan korban sipil, termasuk investigasi independen terhadap dugaan pelanggaran HAM berat.
4. Menolak pendekatan keamanan sebagai solusi utama konflik Papua dan mendesaknya dialog damai yang dimediasi oleh pihak netral, seperti gereja, tokoh adat, atau pihak internasional.
5. Memberikan aksesnya seluas-luasnya kepada lembaga kemanusiaan, media independen, dan pemantau HAM ke wilayah konflik, yang selama ini dibatasi dengan dalih keamanan.
6. Membentuk tim independen nasional dan/atau internasional untuk mengusut kekerasan aparat di Papua, termasuk peristiwa penembakan warga, penyiksaan, dan perusakan kampung.
7. Menghentikan operasi perusahaan-perusahaan asing yang terbukti atau diduga kuat menjadi pemicu konflik sosial dan pelanggaran HAM, seperti PT Freeport Indonesia di Mimika.
8. Menuntut audit menyeluruh terhadap perizinan, dampak lingkungan, dan kontribusi sosial perusahaan asing di Papua, terutama yang beroperasi di wilayah adat dan konservasi.
9. Meminta pertanggungjawaban perusahaan asing yang menggunakan jasa aparat bersenjata untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, yang menyebabkan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal.
10. Menolak eksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak melibatkan persetujuan bebas dan sadar (FPICon) dari masyarakat adat.
11. Mendorong nasionalisasi atau pengawasan ketat terhadap seluruh proyek pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur yang dilakukan oleh perusahaan asing, demi melindungi hak-hak masyarakat Papua.
12. Menghentikan ekspansi industri ekstraktif yang memperparah penggusuran, perampasan tanah adat, dan kerusakan lingkungan, yang sering dilindungi oleh kekuatan militer bersenjata.
***
"???? 𝘏𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘩𝘢𝘬 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱, 𝘩𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘯𝘢𝘩, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘳𝘵𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘴𝘭𝘪 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢!"
"𝙎𝙚𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙣𝙖𝙝 𝘼𝙙𝙖𝙩 & 𝙈𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖"
#HancurkanImperialisme
#HapuskanKolonialisme
#LawanMiliterisme
#SelamatkanTanahAdatDanManusiaPapua
#MasyarakatAdatMerdekaPapua
Tidak ada komentar
Posting Komentar