MAI-P Merauke " Amerika Serikat, Indonesia dan Belanda Bertanggung Jawab Atas Penjajahan Di Papua

Tidak ada komentar
Kegiatan Doa bersama menyikapi perjanjin New Yor Agreement 1962 MAI-P Merauke( Foto,Dok MAI-P)
Merauke ---
Masyarakat Adat Independen Papua Komite Kota Merauke (MAI-P KK-M) melakukan doa bersama dalam rangak menyikapi sejarah Papua Perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962. Selasa, 15/08/2023. Mereka menuntutu agar Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia dan Belanda harus Bertanggung jawab atas Penjajahan di Tanah air West Papua.

Setelah kegiatan doa Ada pun beberap tuntutan yang mereka tulis dalm poster sebagai berikut " Dukung masyarakat suku Moi, Lawan Rasisme, Kami bukan Manusia Burba, Tutup PF. Freeport Indonesia, dan Kami mendukung perjuagan masyarakat suku Awyu.

Pernyataan Sikap Masyarakat Adat Independen Papua Komite Kota Merauke (MAI-P KK-M)

Kami melihat secara jelih bahwa cikap bakal munculnya perampasan tanah-tanah adat di Papua terjadi karena kepentingan ekonomi negara-negara kapital dalam hal ini Negara Indonesia, Amerika dan Belanda " Kata Natalis Buer.

Seperti Amerika Serikat yang mendapatkan tanah adat di Wilayah Masyarakat adat Suku Amungme di Tembagapua dengan berdidirnya Perusahan PT. Freeport Indonesia. Atas dasar perampasan-perampasan tanah-tanah adat itulah yang menyuburkan tindakan Rasisme, diskriminasi dan Pelanggaran HAM berat di bidang lingkungan maupun Masyarakat Adat Papua itu sendiri.

Berbicara tentang Masyarakat Adat, Masyarakat Adat sangat identik dengan kepemilikan atas tanah. tanah atau hak ulayat di miliki oleh seseorang maupun kelompok berdasarkan hak waris yang diturunkan dari leluhurnya sebagai pemilik sulung melalui marga.

Marga Untuk Masyarakat Adat Papua Selatan dan Papua secara umum diwariskan melalui sistem Patrilinear. Jauh sebelum negara hadir, Tanah sudah ada dan tanah tersebut memiliki tuan. Setelah Negara Hadir Pemerintah Memanipulasi Hak Masyarakat Adat Yang Diatur Dan Tertuang Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur mengenai “dikuasai negara” atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnnya. Lahirnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi tonggak politik hukum pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Secara yuridisial pasal tersebut mencederahi Pasal 18b ayat (2) uud 1945 yang memberikan jaminan hak konstitusional masyarakat hukum adat, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan Perjanjian New York Agreement 1962 itulah maka, Rakyat Papua Barat di zaman sekarang mengalami banyak kehilangan tanah adat seperti yang dilakukan oleh negara dengan cara menerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam seluas 36.096,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua selatan, ini menjadi salah satu contoh riil yang dialami oleh masyarakat adat di Papua.

Secara istirical, Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda dan Indonesia terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua. Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak di antaranya, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua.

Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktik Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Di mana pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

Setelah transfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua.

Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia.

Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat.

Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Keadaan yang demikian: teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini. Hak asasi rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia.

Maka, Dengan Menyebut Nama Tuhan dan Leluhur Bangsa Papua Barat dalam rangka peringatan 60 Tahun Perjanjian New York (New York Agreement) yang Ilegal, Kami, MASYARAKAT ADAT INDEPENDEN PAPUA KOMITE KOTA MERAUKE MENYATAKAN SIKAP POLITIK KAMI KEPADA REZIM KOLONIAL DAN KAPITALIS INDONESIA, BELANDA, AMERIKA,dan PBB untuk segera:

1. Tutup PT. FREEPORT Indonesia.

2. Segera Cabut ijin-ijin Perusahaan Asing termasuk LNG Tangguh, MNC, Pabrik Smelter, Bandara Antariksa di biak,Bendungan Kali muyu, Blok Wabu, Miffe, Korindo Group, Food Estate, dan yang lainnya, yang merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.

3. Tarik Militer (TNI-Polri) Pasukan Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua tanpa syarat.

4. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua.

5. Amerika harus bertanggung jawab atas Penjajahan dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

6. Segera Hentikan Daerah Operasi Militer di Nduga, Intan Jaya, Lani Jaya, Maybrat dan wilayah lain di West Papua dan Cabut Peraturan Presiden No. 40/2013 yang melegalkan keterlibatan militer dalam proyek pembangunan jalan Trans-Papua.

7. Buka akses Jurnalis Internasional dan Nasional ke West Papua.

8. Kebebasan Berkumpul, Berpendapat dan Berekspresi bagi rakyat West Papua.

9. Mengecam Keras Tindakan Represif Aparat Kepolisian Jayapura terhadap Aktivitas Papua pada hari ini (15 Agustus 2023)

10. Mengutuk keras tindakan Kepolisian Resor Sorong Yang telah mendiskriminasi orang Papua dan mendesak Negara untuk memecah dan mencopot oknum yang melakukan tindakan diskriminasi dan Rasial.
11. Mengutuk keras tindakan Rasisme terhadap Rakyat dan Bangsa Papua dengan sebutan Orang Papua manusia purba.
12. Pemerintah Negara Indonesia segera berunding dengan TPNPB untuk membebaskan Cop. Pilot Philips March Martens yang di mediasi oleh pihak ketiga yang netral.

13. Pemerintah Indonesia segera Hentikan upaya-upaya perampasan tanah-tanah adat masyarakat dengan memberikan ijin-ijin kepada investor, mafia dan SUANGGI-SUANGGI tanah.

14. Segera bebaskan Aktivis lingkungan dan para pejuang hak-hak masyarakat adat.

15. Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

Demikian pernyataan sikap ini.

Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat West Papua untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita pembebasan sejati rakyat dan West Papua. Atas perhatian dan dukungan seluruh rakyat Indonesia dan West Papua, kami ucapkan terima kasih.

Salam Masyarakat Adat
Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua

Merauke, 15 Agustus 2023.

Ketua
Masyarakat Adat Independen Papua
(MAI-P) Komite Kota Merauke

Natalis Buer

Foto-Foto









Tidak ada komentar

Posting Komentar