![]() |
Merince Kogoya (Dok: FB) |
Peristiwa pemula adik Merince Kogoya dari ajang Miss Indonesia 2025, di akhir Juni karena alasan sepele, bukan sekadar tindakan administratif.
Ini adalah peristiwa simbolik yang menampilkan bagaimana kekuatan negara bekerja dalam membentuk batas-batas kebangsaan, mengendalikan representasi tubuh Papua, serta menyaring siapa yang layak dan tidak layak menjadi bagian dari narasi nasional.
Tuduhan bahwa Merince mendukung Israel hanyalah alasan yang tampak di permukaan retorika sempit yang menutupi kecemasan negara terhadap identitas Papua itu sendiri.
serupa yang ditunjukkan dalam banyak kasus lain, simbol (dalam hal ini bendera Israel) sering digunakan sebagai dalih untuk menyimpan tubuh-tubuh yang dianggap “mengganggu” stabilitas wacana nasionalisme yang homogen.
Tubuh Papua dan paranoia negara dapat menjadi analogi peristiwa ini. Kita harus menyimpulkan: apakah masalah utamanya benar-benar pada bendera Israel, atau pada siapa yang mengangkatnya?
Dalam kasus Merince, tindakan pemulangan dilakukan secara sepihak, tanpa proses klarifikasi atau hak pembelaan. Hal ini menunjukkan bahwa yang dihakimi bukan hanya tindakan, tetapi siapa yang bertindak.
Tubuh Papua dengan kulit gelap, rambut keriting, dan identitas marginalnya kembali menjadi sasaran tafsir dan ketakutan kolektif negara.
Hal ini selaras dengan analisis Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks dan The Wretched of the Earth , di mana ia menjelaskan bahwa kolonialisme tidak hanya menjajah wilayah fisik, tetapi juga struktur psikologis dan representasi identitas masyarakat terjajah.
Fanon menyebut ini sebagai bentuk “kekerasan simbolik” yang memaksa individu terjajah untuk hidup dalam “topeng” agar bisa diterima oleh sistem dominan. Namun seringkali, seperti Merince, bahkan topeng itu pun ditolak.
Merince telah “bermain sesuai aturan.” Ia berpartisipasi dalam ajang resmi negara, tampil percaya diri, membawa identitasnya secara elegan.
Namun kehadirannya tetap dianggap terlalu “politis.” Tubuhnya bukan hanya tubuh seorang perempuan muda dari Indonesia, tetapi dipandang sebagai simbol ancaman dari Papua yang selalu dibayangkan.
Stigma atas Marga Kogoya: Warisan Rasa Bersalah oleh Asosiasi
Lebih jauh lagi, kita tidak bisa memisahkan peristiwa ini dari sejarah panjang stigmatisasi terhadap identitas Papua, khususnya atas nama dan marga.
Marga Kogoya secara politik telah lama diasosiasikan oleh institusi keamanan Indonesia dengan perlawanan bersenjata. Terutama sejak nama Egianus Kogoya menjadi ikon militerisasi di media nasional.
Dalam logika negara Indonesia, ini menciptakan efek rasa yang disebabkan oleh asosiasi : seolah-olah siapa pun yang bermarga Kogoya harus curiga, meskipun tak ada kaitan langsung.
Lennis Kogoya, misalnya, “diselamatkan” negara dan diberi posisi tertentu sebagai penyeimbang naratif terhadap Egianus. Tapi ini pun, seperti dikatakan Fanon, adalah bentuk penjinakan kolonial, di mana negara memberikan “pengakuan terbatas” agar tetap dapat mengendalikan representasi.
Dalam kasus Merence, negara tidak bisa membedakan antara identitas individu dan sejarah kolektif yang dianggap bermasalah. Ia bukan dihakimi sebagai individu, melainkan sebagai simbol kolektif dari apa yang negara takuti: Papua yang merdeka secara kultural dan simbolik.
Teori Kekuasaan dan Kekuatan Simbolik
Dengan menggunakan lensa Michel Foucault dalam konteks Hegemoni, kita dapat melihat bahwa kekuasaan dalam konteks ini tidak bekerja secara kejam, melainkan halus dan diatur melalui wacana, institusi, dan representasi.
Merince tidak dipenjara secara fisik, tetapi ditarik keluar dari ruang publik, dijauhkan dari panggung, dan dihapus dari narasi “Indonesia ideal.”
Ini adalah bentuk kontrol tubuh dan identitas melalui disiplin simbolik: negara menentukan siapa yang berhak mewakili “Indonesia,” dan siapa yang harus disingkirkan karena dianggap membawa “identitas berlebihan.”
Sara Ahmed, dalam teorinya tentang “ekonomi afektif”, menjelaskan bahwa tubuh-tubuh tertentu menjadi beban emosional kolektif dalam imajinasi bangsa. Tubuh Papua dalam hal ini menjadi titik akumulasi ketakutan, trauma sejarah, dan stigma yang tak kunjung sembuh.
Pertanyaannya, jika peserta dari Jawa atau Bali mengibarkan bendera yang sama, apakah negara akan bereaksi serupa? Sangat mungkin tidak.
Karena dalam nasionalisme Indonesia yang sentralistis, ekspresi “non-mainstream” lebih mudah diterima jika datang dari kelompok dominan. Nasionalisme semacam ini bekerja dengan standar ganda, di mana kaum minoritas seperti orang Papua selalu berjalan di atas garis tipis antara diterima dan ditolak.
Penyingkiran Simbolik dan Diskriminasi Struktural
Peristiwa pemulangan Merince adalah bentuk penyingkiran simbolik yang dipicu oleh kecemasan negara terhadap sejarah politik Papua, bukan solidaritas terhadap Palestina.
Ironisnya, dalam narasi publik, negara-negara begitu vokal dalam mendukung kemanusiaan untuk Palestina, namun sering gagal menerapkan prinsip yang sama terhadap anak-anak bangsanya sendiri, terutama yang berasal dari wilayah yang termarjinalkan.
Diskriminasi terhadap Papua bukan hanya dalam bentuk ekonomi dan pembangunan yang timpang, namun juga diskriminasi simbolik dan kultural, yang lebih halus namun menyakitkan.
Ini adalah bentuk rasisme sistemik yang tidak selalu tampak kasar, tetapi bekerja melalui norma sosial dan penyingkiran halus.
Dalam konteks ini, tubuh Merince tidak dilihat sebagai representasi keberagaman Indonesia, melainkan sebagai simbol yang ditakuti: Papua yang tidak bisa dijinakkan. Ia bukan hanya membawa nama, tetapi juga membawa sejarah dan sejarah itulah yang belum bisa dihadapi oleh negara Indonesia.
Hal serupa dikatakan Frantz Fanon, "Ini bukan tentang bendera. Ini tentang wajah yang tidak pernah benar-benar diterima." Akhinyra, seperti yang ditegaskan oleh Malcolm X:
“Anda tidak dapat memisahkan perdamaian dari kebebasan karena tidak ada seorang pun yang bisa merasa damai kecuali dia memiliki kebebasannya.” Anda tidak bisa memisahkan kedamaian dari kebebasan, karena tak seorang pun bisa merasakan kedamaian jika ia tidak memiliki kebebasan.
Penulis adalah aktivis Masyarakat Adat Independent Papua (MAI-P) Komite Kota Sorong.
Tidak ada komentar
Posting Komentar