Organisasi Kontra-Revolusi: Vaksin Penjinak Perlawanan Kaum Muda Papua

Tidak ada komentar

𝙃𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙞𝙩𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙖𝙨𝙞𝙠! 𝙆𝙖𝙙𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙞𝙨𝙞𝙠 𝙙𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙞𝙧𝙞𝙠(foto Pribadi Ebis)

Oleh 
Elisa Bisulu (Ebis)

Di tengah kobaran semangat perlawanan kaum muda Papua melawan kolonialisme dan ketidakadilan struktural, negara kolonial Indonesia tidak tinggal diam.

Bukannya memenuhi tuntutan keadilan atau mengakui hak menentukan nasib sendiri, Pemerintah Kolonial justru merespons dengan strategi klasik imperium: membentuk organisasi kontra-revolusioner yang dibungkus sebagai “wadah aspirasi generasi muda”.

Organisasi-organisasi ini tidak tampak represif. Mereka hadir dengan wajah ramah, jargon nasionalis, dan janji perubahan.

Namun di balik itu, mereka bekerja sistematis untuk meredam, menjinakkan, dan mengalihkan energi perlawanan menjadi partisipasi semu dalam sistem yang menindas.

Mereka adalah vaksin ideologis yang tidak membunuh revolusi secara frontal. Melainkan menyuntikkan ilusi kompromi ke dalam tubuh gerakan.

Dalam teori Marxisme, negara bukanlah entitas netral, melainkan alat dominasi kelas penguasa atas kelas tertindas. Dalam konteks kolonialisme internal seperti di Papua, negara berfungsi sebagai agen kapitalisme dan imperialisme yang melanggengkan kekuasaan pusat atas wilayah koloni.

Louis Althusser menyebut ini sebagai bagian dari “aparatus ideologis negara”, yang berfungsi melalui lembaga-lembaga pendidikan, media, agama, dan organisasi sosial, termasuk organisasi pemuda binaan negara.

Organisasi kontra-revolusioner adalah bagian dari aparatus ini. Dengan retorika “persatuan nasional”, “pemuda produktif”, “generasi emas”, dan “pembangunan damai”, mereka mengaburkan akar konflik: penindasan struktural, eksploitasi kapitalisme global, dan pengingkaran hak kemerdekaan.

Mereka menciptakan narasi bahwa perubahan bisa dicapai dari dalam sistem kolonial. Padahal sistem itu sendirilah sumber persoalan.

Pengalaman sejarah membuktikan, kontra-revolusi tidak selalu datang dalam bentuk militeristik. Di Amerika Latin misalnya, rezim-rezim otoriter dan imperialisme AS banyak menggunakan LSM, gereja, dan lembaga sosial sebagai alat kooptasi.

Di Aljazair selama perjuangan anti-kolonial melawan Prancis, intelektual seperti Frantz Fanon menjelaskan bagaimana elite pribumi yang dikompromikan, digunakan untuk memadamkan semangat revolusi rakyat.

Papua dan Wajah Baru Penjajahan

Sejak awal 2000-an hingga kini, kaum muda Papua telah menjadi motor utama kesadaran politik rakyat. Mereka membentuk organisasi-organisasi seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), FNMPP, MAI-P, SONAMAPPA, GARDA-P, Gerakan Mahasiswa Papua (GMP), beserta banyak komunitas basis lainnya yang menyuarakan hak kemerdekaan dan menolak kolonialisme.

Menghadapi arus radikalisasi politik ini, negara kolonial Indonesia tidak hanya mengandalkan aparat keamanan, tapi juga memproduksi organisasi tandingan. Misalnya, Papua Muda Inspiratif (PMI)Papua Youth Creative Hub, atau forum-forum seperti “Dialog Papua” yang didukung oleh Badan Intelijen Negara (BIN).

Program-program tersebut melibatkan elite lokal dan segelintir pemuda binaan untuk menyuarakan narasi “Papua damai” atau “Pemuda Papua mitra pemerintah” dan lain-lain. Dalam format seperti ini, kontra-revolusi hadir dalam bentuk yang lebih licik: pelatihan kepemudaan, beasiswa, pengembangan wirausaha, bahkan panggung internasional.

Semuanya dikemas untuk menciptakan generasi muda yang “produktif” tetapi jinak, “kritis” tetapi loyal terhadap sistem kolonial.

Ilusi Perubahan dalam Bingkai Penindasan

Inilah bentuk paling berbahaya dari kontra-revolusi modern: ketika musuh tidak datang dengan senjata, melainkan dengan proyek. Ketika penjajahan tidak lagi menembak, melainkan mengasuh.

Pemerintah kolonial menjinakkan gerakan perlawanan penindansan dengan kooptasi, bukan hanya dengan cara represi terbuka. Hal ini sejalan dengan strategi hegemoni ala Antonio Gramsci: dominasi tidak hanya dijaga dengan kekerasan, tetapi juga dengan konsensus palsu.

Kontra-revolusi bekerja dengan menciptakan dualitas semu antara “radikal” dan “konstruktif”. Mereka mendorong kaum muda Papua untuk menjadi “bagian dari solusi,” yakni solusi yang tidak pernah menyentuh akar penjajahan. Mereka menggantikan tuntutan kemerdekaan dengan program pemberdayaan, padahal yang dibutuhkan rakyat adalah pembebasan.

Sejarah rakyat tertindas dunia memberi banyak pelajaran. Di Afrika Selatan, gerakan melawan apartheid tidak bisa dibungkam meski pemerintah kolonial membentuk berbagai organisasi hitam pro-rezim. Kaum muda dan mahasiswa tetap setia pada garis radikal.

Di Kuba sebelum Revolusi 1959, rezim Batista juga mengandalkan kelompok pemuda binaan pemerintah AS, namun gagal mengimbangi gerakan radikal Fidel Castro dan Che Guevara.

Di Papua, kita menghadapi bentuk modern dari strategi yang sama. Negara kolonial Indonesia mencoba memotong mata rantai radikalisasi kaum muda dengan membentuk organisasi tandingan. Ini adalah taktik kontra-revolusi yang telah digunakan selama berabad-abad oleh rezim kolonial di seluruh dunia.

Menjaga Arah Perjuangan: Dari Ilusi ke Emansipasi

Kaum muda Papua tidak boleh terjebak dalam jebakan kontra-revolusi ini. Kesadaran politik harus terus diasah. Diskusi-diskusi independen, pendidikan kritis, dan keterhubungan dengan sejarah perjuangan rakyat tertindas lain harus dibangun.

Organisasi rakyat harus memperkuat garis perjuangan emansipatoris: bukan sekadar perubahan kosmetik dalam sistem kolonial, tetapi pembebasan total dari sistem itu sendiri. Sebab pembebasan sejati tidak akan lahir dari rahim sistem yang menindas, melainkan dari rahim perlawanan yang radikal, militan, dan berpihak pada rakyat.

Jika tidak, maka seperti yang dikatakan Rosa Luxemburg, rakyat hanya akan dihadapkan pada dua pilihan: sosialisme atau barbarisme. Dalam konteks Papua, itu berarti: kemerdekaan sejati atau integrasi palsu yang terus-menerus menyamarkan penindasan sebagai pembangunan.

Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua. Lawan Kontra-Revolusi dengan Kesadaran dan Organisasi!

Penulis adalah Anggota Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) Komite Kota Sorong.

Tidak ada komentar

Posting Komentar