![]() |
Saat Anggota Masyarakat Adat Independent Papua (MAI-P) berkunjung di Lapas Sorong temui Tahanan Politik (TAPOL) Papua Barat (NFRPB) |
Oleh AMI-P KK Sorong
Pasal makar dalam KUHP Indonesia merupakan warisan langsung dari pemerintah kolonial Belanda, yang digunakan untuk menindas gerakan perlawanan pribumi dan nasionalis Indonesia kala itu, seperti Soekarno, Bung Hatta dan Tan Malaka, artinya: asalnya bukan dari semangat demokrasi, tetapi dari upaya penjajahan dan penundukan rakyat, dan juga sering digunakan untuk melindungi kekuasaan.
Dalam era pascareformasi, ketika Indonesia sudah mengakui pentingnya supremasi hukum, kebebasan berekspresi, dan perlindungan HAM, penggunaan pasal makar sangat bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, dan menjadi alat pembungkaman terhadap aktivisme politik damai.
Pasal makar di KUHP sangatlah kabur dan multitafsir. Misalnya, Pasal 106 KUHP berbunyi : "Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau supaya wilayah itu memisahkan diri dari negara..."
Namun, “makar” di sini tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga Aktivitas politik damai seperti mengibarkan bendera, menyuarakan referendum, atau membentuk organisasi politik alternatif, dapat dikriminalisasi. Dan Negara juga bisa dengan bebas menuduh “makar” tanpa perlu bukti kekerasan atau ancaman nyata.
Banyak tindakan yang dijerat dengan pasal makar sebenarnya adalah hak politik dan hak sipil yang sah secara internasional, Hak untuk menentukan nasib sendiri, Hak untuk menyatakan pendapat politik, serta Hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Penggunaan pasal makar untuk menekan hak-hak ini berarti telah melanggar ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang sudah diratifikasi Indonesia.
𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐞𝐤𝐬 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚
Di Papua, pasal makar telah menjadi alat utama untuk, menekan aspirasi kemerdekaan atau referendum, mengkriminalisasi perjuangan politik damai, dan Menutup ruang dialog dan penyelesaian damai.
Padahal, tuntutan rakyat Papua—termasuk referendum atau pengakuan sejarah—adalah bagian dari dinamika politik yang seharusnya dijawab dengan pendekatan politik, bukan represif hukum pidana.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, Pasal makar hari ini sudah tidak relevan lagi dalam sistem hukum demokrasi modern. Karena Ia lahir dari konteks kolonial, tidak jelas, multitafsir, dan rawan digunakan untuk menindas ekspresi politik yang sah.
Dalam semangat demokrasi, pasal ini seharusnya dihapus atau direvisi total, dan perjuangan politik—termasuk gerakan kemerdekaan seperti di Papua—harus dijawab dengan dialog, rekonsiliasi sejarah, dan penghormatan terhadap HAM.
𝐏𝐨𝐥𝐫𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐒𝐨𝐫𝐨𝐧𝐠 𝐊𝐨𝐭𝐚 𝐁𝐞𝐛𝐚𝐬𝐤𝐚𝐧 ???? 𝐁𝐚𝐫𝐚𝐭 (sudah lama)
"𝙎𝙚𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙣𝙖𝙝 𝘼𝙙𝙖𝙩 & 𝙈𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙋𝙖𝙥𝙪𝙖"
Tidak ada komentar
Posting Komentar