Penghancuran Ruang Hidup Dan Masyarakat Adat Papua

Tidak ada komentar



Ditulis Oleh : Robert William




Pengantar



Relasi yang terbangun antara rakyat Papua dan alamnya sudah ada sejak zaman nenek-moyang hingga sekarang dan memiliki ikatan yang kuat. Makna Konotasi dari tanah menurut orang Papua adalah hutan, bukit, sungai, dan laut. Hewan hingga Manusia yang mencari penghidupan di atas tanah, sangat terikat oleh tanah itu sendiri. Tanah bukan saja dijadikan sebagai ruang untuk mencari dan mengelolah kebutuhan saja tetapi tanah juga menjadi tempat untuk membangun ikatan social, budaya hingga ikatan spiritual yang kuat dari kepercayaan komunitas masyarakat yang hidup di atas tanah itu sendiri, tanah juga merupakan media komunikasi langsung dengan jejak nenek moyang atau leluhur.

Karena Selama puluhan ribu tahun, Bangsa Papua sudah mengelolah tanah, membangun keselarasan bersama alam, membangun kebudayaannya, dan menciptakan relasi yang kuat antara lingkungan dan masyarakat itu sendiri, yang berarti apabila negara atau korporasi merampas tanah dan menghancurkan hutan maka mereka juga menghancurkan keharmonisan antara alam dan masyarakat itu sendiri atau membunuh dan menghancurkan bangsa Papua itu  sendiri.

Dengan masuknya model ekonomi eksploitatif yang dibawa oleh Indonesia telah memaksa komunitas masyarakat adat yang bercocok tanam ataupun berburu dan mengumpulkan makanan harus mengikuti atau mengalami regresi budaya dan perubahan gaya hidup (bertransformasi), mulai dari contoh sederhana seperti bentuk makanan, minuman, pakaian, rumah dan sebagainya (dalam memenuhi kebutuhan sekunder maupun kebutuhan primer),  dari yang primitive ke modern dalam artian, masyarakat Papua harus menerima bentuk transformasi kerja (bentuk perubahan pola hidup) dan memutus keterikatan bersama alamnya juga dipaksa harus menerima moderenisasi dan mengikuti mobilitas globalisasi.

Perubahan social, ekonomi, dan penguasaan atas tanah dalam masyarakat adat, juga kehancuran ekologi yang dibuat oleh ekspansi modal ke wilayah-wilayah adat  di Papua sudah sering diteliti oleh berbagai kalangan, mulai dari lembaga pemerintahan, NGO (organisasi nirlaba), komunitas mupun individu sangat banyak namun, sebagai pengantar diskusi sedikit yang saya baca dan pahami akan saya tuliskan  dalam beberapa topik.



Latar Belakang Sejarah
Ketika Irian Barat (atau sekarang Papua) tidak kunjung diserahkan kepada Indonesia seperti dijanjikan, sedangkan indonedia patuh membayar hutang Belanda yang dibebankan kepadanya, maka pada tahun 1957 Indonesia kehilangan kesabaran dan menyatakan “membatalkan perjanjian KMB” secara sepihak. Hal ini kemudian diikuti dengan “nasionalisasi” atas perkebunan-perkebunan asing. Di sini harus ditegaskan bahwa “menasionalisir” (dalam konteks waktu itu); bukan berarti menyita, bukan pula merampok! Hal itu berarti “menguasai”, dan nanti akan dibayar! Namun sayangnya, entah karena pertimbangan apa, hampir semua perusahaan asing yang diambil alih melalui kebijakan “nasionalisasi” itu, pimpinannya kemudian langsung dipegang oleh militer. Inilah awal mula dari masuknya peranan TNI ke dalam bidang ekonomi. Setahun kemudian, lahirlah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal sebagai UUPA 1960). Karena isinya baru berupa “pokok-pokok”, maka intinya adalah prinsip-prinsip, yang seharusnya dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang lebih operasional.  Sebelum terlaksananya UUPA 1960  presiden indonedia diganti oleh Jenderal Soeharto (orde baru), praktik orde baru dalam menjalankan revolusi hijau pada waktu itu tidak menunjukan keseriusannya. Orde Baru menerapkan pendekatan “jalan pintas” (By-Pass Approach). Pembangunan pertanian didahulukan, akan tetapi gagasan Reforma Agraria (RA) ditinggalkan. Yang dijalankan adalah Revolusi Hijau namun tanpa Reforma Agraria. Asumsi dasarnya adalah bahwa dengan menyelesaikan masalah pangan, yang dianggap sebagai inti masalah agraria, maka konflik agraria dapat diatasi. Oleh karena itu, buat apa repot-repot melaksanakan Reforma Agraria yang rumit itu1.
Pada saat yang sama, Orde Baru juga mendorong masuknya arus investasi asing secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, dengan akibat bahwa pemerataan dan keadilan sosial dapat disisihkan (ditanggalkan) terlebih dulu. Kebijakan Orde Baru memang bertolak belakang dari kebijakan pembaruan agraria yang dianut oleh pemerintahan sebelumnya.
 Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru secara manipulatif telah menyalahgunakan aturan hukum yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, yang turunannya juga termuat dalam Pasal 1 UUPA, yaitu mengenai “Hak Menguasai oleh Negara” (HMN). Dalam bagian Penjelasan, sangat jelas dinyatakan bahwa “hak menguasai” itu bukanlah “hak memiliki” melainkan hanya “wewenang untuk mengatur”. Oleh pemerintah Orde Baru, kewenangan untuk mengatur itu bukannya dimanfaatkan untuk “kemakmuran rakyat”, akan tetapi untuk “memfasilitasi modal asing”. Hal ini sematamata karena asumsi bahwa mengalirnya modal dan bantuan asing itu akan membantu pembentukan “kue nasional” yang pada akhirnya remah-remahnya akan mencapai ke bawah dan dinikmati oleh rakyat.
Ironisnya, demi memfasilitasi para pemilik modal itu, tanah-tanah rakyat pun tergusur dengan cara-cara yang tidak terpuji, dan sering disertai dengan tindak kekerasan yang menelan korban harta dan jiwa. Kita semua kemudian melihat bahwa hal ini telah meninggalkan warisan berupa ribuan kasus konflik agraria di berbagai penjuru Indonesia juga Papua Konflik ini bukan saja terjadi antara rakyat dengan instansi pemerintah, atau antara rakyat dengan perusahaan swasta atau BUMN, akan tetapi juga antara instansi-instansi pemerintah sendiri.

Dalam konteks historis tentang papua sendiri, rakyat papua telah menolak berintegrasi dengan Indonesia sejak 1940an hingga sekarang. Delegitimasi proses Integrasi 1962 dengan adanya perjanjian new York (New York agreement) dan proses aneksasi 1 may 1963 yang didukung oleh amerika di bawah pengawasan UNTEA. Akhirnya tahun 1969, pepera (penentuan pendapat rakyat) dilaksanakan dengan melibatkan 1009 orang pro-integrasi kemudian indonesia memenangkan act of no choice itu. Dari sinilah kemudian pembunuhan, perampasan ruang hidup hingga pelanggaran ham terus terjadi dan menelan korban dan harta benda tidak sedikit. Akumulasi kekeceawaan rakyat papua yang dibangun Indonesia telah terjadi sejak 1960 an hingga sekarang, relevansi penyebab kekecewaan yang dimaksud di sini adalah legitimasi sejarah papua yang sengaja dipalsukan Indonesia menjadi penyebab utama kesewenang-wenangan dan konflik berkepanjangan dalam masyarakat Papua.




Relasi Manusia Dan Tanah



Ketika leluhur manusia modern mulai tersebar dan menduduki wilayah-wilayah potensial dan ideal yang berlimpah hewan untuk berburu serta mengumpulkan tumbuhan liar untuk dijadikan makanan. 11.000 tahun yang lalu barulah manusia mulai beralih kepada apa yang disebut proses produksi pangan: yaitu proses domestifikasi hewan dan tumbuhan liar serta mengkonsumsi ternak dan tanaman budidaya. Dari tempat-tempat (wilayah) ideal yang ditemukan inilah kemudian manusia mulai berkembang, karena dengan berlimpahnya makanan maka semakin banyak waktu untuk bersantai, sehingga lonjakan populasi manusia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dari perkembangan populasi dan penemuan-penemuan baru alat untuk bercocok tanam misalnya kapak batu, dsb, manusia mampu membangun relasi yang kuat antara lingkungan tempat dia hidup dan antara sesama manusia itu sendiri2.
Alam menyediakan tanah yang subur dengan kompos sedangkan manusia hanya mengolah tanah itu untuk ditanami dan merawatnya hingga membuahkan hasil, mungkin terlebih dahulu manusia harus bekerja dengan sepenuh tenaga dengan peralatan seadanya sampai tuntas dan ditanami lalu disemai sampai membuahkan hasil yang setara dengan kerjanya dan dipakai bersama-sama, dengan demikian terbentuknya relasi social (kolektifitas) pertanian. Dari bentuk kerja kolektif, kemudian manusia yang mendiami suatu wilayah menggantungkan hidupnya terhadap lingkungan hingga menciptakan bentuk masyarakat yang sangat berbeda dari sebelumnya dengan juga mulai menciptakan perkakas produksi.

Dari 2 abad terakhir, Rakyat Papua pun takluk kepada kemajuan peradaban. Mereka terpaksa harus berpindah dari suatu wilayah atau menetap karena adanya  tekanan pemerintah dan korporasi ataupun konflik antara sesama.

A.            Orang Papua dan lingkungannya

Pandangan paling umum mengenai Orang Papua dan lingkungannya tidak terlepas dari sejarah Papua yang begitu rumit dengan dinamika sejarahnya yang banyak dimanipulasi oleh Indonesia, kemudian peristiwa-peristiwa politik dan dinamika social ekonomi, turut menjembatani kesengsaraan dan penindasan.

Dari satu perjanjian ke perjanjian lainya tentang legitimasi wilayah dan msayarakat pun, tidak pernah melibatkan orang Papua. Sehingga persekongkolan antara negara-negara maju yang (disokong korporasi internasional) dengan pemerintah Indonesia.
Mereka tidak pernah mempertimbangkan dampak eksploitasi dan penghancuran ekologi, masyarakat lokal, hingga penghancuan adat dan budaya yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam di Papua.
Dari era zaman kolonial belanda dan sekarang jaman kolonial Indonesia mengokupasi tanah Papua, masyarakat Papua tetap dianggap sebagai Sub-Manusia sehingga penghancuran ruang hidup (ekologi), social masyarakat, budaya, dan ekonomi tetap menjadi hal yang wajar atau “sah-sah saja” di mata Indonesia dan dunia.

Di bawah pemerintah Indonesia saat ini masyarakat papua merasa menjadi orang asing di negeri sendiri. Ekonomi dan politik telah didominasi dan dikendalikan oleh orang non-Papua, serta pemerintah pusat. Korporasi-korporasi internasional atau multinasional telah mengeksploitasi tanah-tanah (hutan) dengan leluasa karena disokong oleh pasukan keamanan.
Penangkapan ikan illegal, pembabatan hutan untuk sawit, dan penambangan liar terus berlanjut kemudian menghancurkan sumber-sumber pangan, alam, dan rumah-rumah masyarakat adat3.



B.               Makna Hukum Adat dan Hak Ulayat


Pada umumnya, hukum adat adalah aturan-aturan yang tak tertulis. Seorang pakar hukum adat, Almarhum Prof. Dr. Mr. Soekanto, pernah mendefinisikan hukum adat sebagai: “kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan, tidak dikodifisir, bersifat paksaan dan mempunyai sanksi, jadi sebabnya mempunyai akibat hukum” (Soekanto 1954: 2). Menurut Van Vollenhoven, yang juga dikutip oleh Prof. Soekanto, “hukum adat Indonesia ialah hukum Melayu-Polinesia ditambah dengan di sana-sini (sebagian kecil) hukum agama” (Soekanto 1954: 50-54).

Secara sosiologis, hukum adat berbeda dari hukum positif (formal) bukan saja karena yang satu tak terkodifisir dan yang lain terkodifisir, tetapi juga karena hukum positif itu lahir secara ditetapkan (enacted), sedangkan hukum adat timbul sendiri melalui proses panjang, dalam perjalanan sebuah masyarakat. Namun baik hukum positif yang berupa undangundang, peraturan dan sebagainya, maupun hukum adat, adat istiadat dan sebagainya; secara sosiologis dapat dipandang sebagai masuk dalam satu kategori yang disebut norma.
Adapun aspek hukum adat yang secara khusus terkait dengan agraria adalah apa yang dikenal sebagai “hak ulayat”. Istilah ini awalnya berasal dari masyarakat hukum adat di Minangkabau, tetapi oleh UUPA diangkat ke atas secara nasional untuk mengacu kepada, atau mewakili, hak-hak yang sejenis dalam berbagai masyarakat hukum adat yang ada di seluruh Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan hak ulayat ini adalah hak suatu komunitas secara keseluruhan (persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat) atas tanah-tanah yang diduduki, atas pohon-pohon, kolam-kolam, dan benda-benda yang berada di bawah maupun di atas permukaan tanah, dalam suatu wilayah yang dikuasainya. Van Vollenhoven menyebut hak ini dengan istilah “beschikkingsrecht4” (bahasa Belanda).

Konflik Tanah Dan Masyarakat Adat

Masyarakat adat yang mendiami wilayah Papua memiliki banyak karakteristik, karakter yang berbeda inilah yang kemudian menjadi sebuah acuan untuk melihat pola perkembangan masyarakat tersebut hingga hubungan kerja antara masyarakat yang terbentuk oleh sebab musebab dari dalam maupun luar lingkungannya, dari perubahan yang terjadi inilah kemudian mendatangkan malapetaka bagi lingkungan bahkan manusianya sendiri.
Penghancuran yang terjadi berdasar pada perkembangan ekspansi modal di wilayah-wilayah adat, yang memaksa masyarakat adat menerima penghancuran ini sebagai sebuah keniscayaan perkembangan dunia modern.
Metode atau pendekatan yang dipakai oleh penguasa juga pengusaha bermacam-macam, mulai dari terror psikologis, bayar ganti rugi yang tidak sepadan, pemberian iming-iming kepada masyarakat adat, buat gerakan abal-abal, serta kepala suku tandingan. Dari berbagai taktik pendekatan yang dibuat ini bertujuan agar masyarakat tidak protes terhadap kerusakan lingkungannya atau protes terhadap dinamika social yang terjadi.
Dari berbagai pokok masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat adat di papua hari ini membuat setiap orang terlena terhadap penghancuran yang sedang terjadi di depan mata. Penghancuran yang dimaksud sbb :

a.     Penghancuran secara langsung (vulgar)

Penghancuran masyarakat adat secara langsung terjadi di tengah kita hari ini, namun pemahaman soal penghancuran melihat konteks realita dihayati sebagi sebuah proses pemusnahan baik itu ekologis, maupun social dan politik.
Penghancuran secara langsung juga merupakan upaya paling massif untuk memisahkan tanah dengan manusianya. Banyak sekali system politik di negeri-negeri yang belum maju hingga daerah yang paling tertinggal sekalipun tidak luput menggunakan metode penghancuran masyarakat adat secara langsung, termasuk system kapitalisme, kolonialisme, hukum dsb.
Penghancuran secara langsung ini digunakan dalam berbagai macam hal, misalnya : perampasan tanah adat oleh militer untuk membangun pertambangan Ilegal (contoh di korowai), pembunuhan pemimpin adat untuk menghilangkan tendensi politik identitas kebudayaan, penggusuran tanah secara paksa (seperti di nawaripi timika) dll. Beberapa contoh penghancuran eksistensi masyarakat adat secara langsung ini dikonstruksikan oleh militerisme yang kawin-mawin dengan kapitalisme menggunakan birokrasi pemerintah daerah sampai pusat sebagai pengantara dan medium kerja penghancuran itu sendiri, maka timbul perampasan tanah, penggusuran paksa, ilegellogging, dan sebagainya hal ini dikonstruksikan secara langsung dan tersistematis dengan bentuk kekerasan.
Sekarang penggunaan kekuatan penuh untuk penghancuran masyarakat adat terjadi ketika negara yang menghamba pada neoliberalisme menghamba pada kepentingan korporasi multinasional. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai instrument :
1.     Menyusun UU yang mendorong dan melindungi kepentingan korporasi
2.     Menggunakan kekuatan polisi dan tentara untuk meredam protes gerakan akar rumput
3.     Mengembangkan intervensi kekuatan militer dan opersai intelejen untuk melindungi kepentingan ekonomi kapitalis.

a.     Penghancuran tersistematis (tidak vulgar)

Hal paling mendasar selanjutnya adalah penghancuran masyarakat adat secara sistematis, dari berbagai persoalan, yang paling Nampak hari ini yang kemudian menimbulkan penghancuran terhadap masyarakat adat adalah :
1.     Uang
Uang yang dikucurkan oleh pemerintah pusat melalui berbagai program pemerintah yang dapat menjangkau pelosok daerah, contohnya seperti dana desa yang berjumlah miliaran diturunkan kepada desa untuk dikelolah sesuai kebutuhan daerah atau wilayah desa. Lalu dari desa mendistribusikan uang itu kepada masyarakat, di banyak kasus, dana desa itu seperti kredit rakyat artinya rakyat akan dikasih uang apabila dia (penerima) mau kooperatif terhadap pemerintah, tujuan hal ini adalah untuk menerima semua legitimasi keberadaan pemerintah sebagai salah satu wadah yang mampu bangun masyarakat lokal. tetapi dalam beberapapa peristiwa di Papua, hal ini sangat disayangkan karena dengan adanya dana-dana dari berbagai macam program pemerintah pusat membuat rakyat terlena, tidak mandiri, dan pasif terhadap lingkungan dan ikatan social.
Fakta lain dari masalah yang paling serius hari ini adalah mulai timbulnya ketergantungan terhadap uang dan membuat masyarakat rela menjual tanah untuk mendapatkan uang dan mungkin uang itu akan dipake untuk hal-hal tidak penting seperti mabuk-mabukan, sampai ke persoalan perut.

2.     Sertifikat dan hak property serta penguasaan atas tanah
Ketika pemerintah Indonesia mencoba membuat program pembagian sertifikat gratis kepada seluruh rakyat ternyata bukan hanya jebakan buat rakyat Papua tetapi pintu menuju kehancuran masyarakat dan legitimasi wilayah adat.
Ketika klaim terhadap tanah yang dijadikan property pribadi seorang tidaklah bisa disangkut pautkan dengan kepemilikan bersama dalam komune, karena itu masyarakat adat tidak membuat kepemilikan pengelolahan tanah diserahkan kepada pribadi (individu) tetapi malah sebaliknya maka apapun dan siapapun yang disangkut pautkan kepada kepemilikan pribadi atas tanah atau suatu wilayah kekuasaan adalah bentuk konkret dari suatu mekanisme kerja menuju kehancuran masyarakat adat. bila kelompok-kelompok komune terpercah dan membentuk individu-individu yang saling mengklaim atas satu dan lain wilayah maka prasyarat pembentukan masyarakat yang saling bermusuhan dan pemutusan rantai ikatan social akan terus berlanjut.
Kembali lagi kepada sertifikat gratis, merupakan sebuah program pemerintah yang sangat efektif untuk mengdiskreditkan masyarakat adat bahwa “apabila masyarakat tidak memiliki sertifikat maka ia adalah penduduk illegal” dsb.
Suatu legitimasi kuat dalam kepemilikan tanah secara kolektif adalah aturan baku (dan diakui dalam aturan pembagian 7 wilayah adat), dalam adat yang juga membagi kelompok masyarakat dalam berbagai sub-sub kelompok untuk saling menghidupi bukan memisahkan individu dari kelompok dengan sertifikat gratis ala pakde.

3.     Undang-undang tidak ramah lingkungan
Setelah jokowi menjabat sebagai presiden, ia membuka kran investasi secara leluasa ke Indonesia, suatu pamor kekuatan politik ekonomi di daerah asia tenggara dibangun atas dasar investasi yang massif menanamkan modal ke Indonesia, ini bagian daripada kelanjutan program presiden sebelum-sebelumnya membangun kekuatan ekonomi. Program nawacita pun dirumuskan dan digodong-godong katanya memiliki rumus pembangunan angka kesejahteraan di Indonesia yang akan membawa rakyat kepada zaman keemasan, investor yang masuk ke Indonesia menanamkan modalnya di berbagai sector tetapi lebiih parah dan paling banyak adalah sector energy, tambang, dan batubara. Undang-undang pokok agrarian pun hanya dijadikan hiasan, lalu pemerintah dalam hal ini DPRRI dan para menteri serta ahli-ahli hukum sibuk merumuskan undang-undang baru atau keputusan-keputusan pemerintah yang tentu sarat kepentingan investasi seperti UU Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA), OMNIBUS LAW dsb.
Dalam bentuk perumusan undang-undang yang tidak pernah melibatkan rakyat (dala hal ini masyarakat adat) tentu memojokan peran serta eksistensi masyarakat adat itu sendiri, maka investasi yang masuk pun tidak segan-segan menghancurkan lingkungan masyarakat adat, penghancuran terhadap eksistensi dan hak ulayat masyarakat adat.
“Kalau di Papua, tidaklah menjadi hal baru tentang penghancuran yang terus berlanjut dan penegakan hukum yang rasis juga diskriminatif, persoalan ini sudah berlangsung dari waktu ke waktu (zaman papua dianeksasi sampai sekarang) dan itu akan terus berulang dari satu keputusan ke keputusan lainnya.
Pada dasarnya hukum pertanahan di Indonesia yang dominan adalah hukum warisan belanda, dan dipolarisasi oleh Orde Baru sekarang diterapkan ole Orde Paling Baru, dan tidak ada jaminan keselamatan dan perlindungan hukum terhadap tanah adat, dan masyarakat adat.


Namun yang penting adalah, penghancuran secara sistematis berdampak pada pola pikir masyarakat yang semakin apatis dan tidak peduli terhadap kehidupan masyarakat yang sama-sama teralienasi saat ini dan pengikisan terhadap kebudayaan orang papua yang terjadi secara dramatis. Penyebabnya bisa diangkat dari beberapa hal yang saat ini sangat Nampak atau terasa di tengah masyarakat Papua.


1.     
1.                 Mengindonesiakan orang Papua

Pengindonesiaan orang Papua secara sistematis sudah dimulai sejak perbutan wilayah papua oleh Indonesia dan belanda, tolak ukur pengindonesiaan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan sumber daya alam yang melimpah di Papua, bahkan sebelum Indonesia merdeka Tan Malaka pernah singgung soal potensi minyak, kayu dan tambang di Papua. bahkan Tan malaka memaksa Soekarno agar tidak berunding dengan belanda tetapi melakukan penaklukan total terhadap belanda, targertnya adalah mengusir belanda dari sabang sampai merauke. Setelah Indonesia dan belanda melakukan berbagai macam pertemuan hingga Konferensi meja bundar, Indonesia dan belanda tidak selesaikan masalah Papua secara serius dan menemukan poin-poin penting agar terselesaikannya sengketa perebutan kedaulatan atas Papua.
Pada tahun 1960, setelah orang Papua mempersiapkan segala atribut dan bentuk kenegaraan West Papua, tanggal 1 desember 1960 barulah komite persiapan kemerdekaan Papua memprolamasikan kemerdekaannya, namun ketika kemerdekaan Papua baru berumur 19 hari maka soekarno membentuk operasi Trikora yang akan berdampak pada orang Papua karena adanya operasi militer di seantero Papua, hingga diperparah ketika jenderal Soeharto menjabat sebagai presiden Indonesia dan berlanjut ketika Indonesia memenangkan Pepera 1969 yang tidak adil.
Pengkondisian ini terus berlanjut dibawah kepemimpinan Orde Baru, di mana pengindonesiaan orang papua dilakukan melalui berbagai cara, misalnya orang Papua yang memakai koteka dan cawat disebut sebagai orang primitive dan tidak beradab, paksakan orang Papua bergantung pada nasi daripada ubi, orang yang menolak hutannya ditebang dicap sebagai anti pembangunan, bahkan paling parahnya orang yang berambut gimbal disebut criminal dan separatis.
Pengindonesiaan orang Papua dibawah Orde Baru dilakukan secara massif oleh ABRI ditambah dengan program ABRI masuk desa waktu itu, tidak sedikit telah terjadi pembunuhan, penghancuran lingkungan, pemerkosaan hingga operasi-operasi militer memperparah masyarakat dan dengan terpaksa harus tunduk di bawah militerisme.
Dari berbagai tindakan pemerintah Indonesia dari jaman Soekarno hingga Soeharto yang diperebutkan di papua bukan saja alamnya tetapi juga melakukan penaklukan psikologis rakyat papua itu sendiri, sehingga pengindonesiaan orang Papua telah berhasil dilakukan hingga sekarang.

2.                 Pendidikan


 Kasus di Papua lebih parah karena kurikulum di papua tidak sepenuhnya mengajarkan orang Papua untuk berpikir secara kritis soal lingkungan hingga mempelajari kebudayaannya sendiri,
Sekarang lebih parahnya ketika Indonesia membuat program-program beasiswa yang mengirim pelajar maupun mahasiswa ke luar Papua dengan konsekuensi bahwa mahasiswa program beasiswa tidak boleh mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat politis apalagi ikut demo, hukumannya pasti diputus beasiswa atau didrop out dari kampus.
Karena metode pendekatan menggunakan terror psikologis dan pemanjaan terhadap masyarakat Papua dalam hal ini mahasiswa, maka ketakutan yang berlanjut terus dipupuk hingga membuat psikologis orang Papua cepat menyerah, pasrah terhadap keadaan, apatis dan tidak percaya terhadap kekuatannya sendiri.

3.                 Strotipe dan Stigmatisasi Terhadap Rakyat Papua

Pandangan mayoritas orang di luar papua terhadap rakyat papua tentang cara hidup, pola makan, politik dan identitas belumlah bisa disebut adil.
Bukanlah hal yang tabu mendengar pemerintah menyebut atau mengstreotipekan orang Papua itu sebagai bagian dari kelompok criminal, anti pembanguna, separatis dan lain-lain yang bertentangan dengan hukum formal di Indonesia.
Dasar pembentukan pola berpikir yang diskriminatif ini sudah dibangun sejak jaman colonial dan diwarisi oleh rakyat hingga pemerintah bahkan pelaku hukum sebagai suprastruktur masyarakat juga sama-sama membangun streotipe dan stigma terhadap orang Papua.
Tujuan stigma dan streotipe terhadap orang Papua dibangun agar justifikasi terhadap wilayah Papua dan orang Papua itu selalu dianggap sebagai wilayah dan orang-orang yang bermasalah sehingga pemerintah dan korporasi dengan leluasa menanamkan hegemoni di tanah Papua. Dengan menggunakan stigma dan streotipe terhadap orang papua, pemerintah ataupun korporasi dengan mudah masuk dan dibantu oleh militer sehingga siapapun yang berseberangan dengan keinginannya akan dibumi hanguskan.
Dampak dari hal ini membuat rakyat Papua menjadi pesimis dan ketakutan dalam hal apapun sehingga rakyat Papua harus bertahan hidup dibawah ketakutan dan tekanan psikologis yang berkepanjangan


Penutup

Di bidang kemasyarakatan tercatat dalam sejarah kehidupan rakyat Papua bahwa selama lebih dari empat decade pemerintah tidak mengakui secara terbuka eksistensi masyarakat adat Papua beserta hak-hak ulayatnya sehingga tidak pernah melibatkan mereka pada posisi setara untuk membicarakan urusan-urusan yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan hak ulayatnya.
Terdapat banyak kasus di mana para pemilik hak ulayat diancam atau dipaksa menerima kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat oleh penguasa NKRI5.
Dari berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia “mengaminkan” berbagai pelanggaran HAM di seluruh Papua, khususnya bagi mereka yang membangkang terhadap keinginan penguasa, mereka akan dibunuh ataupun ditangkap tanpa proses pengadilan yang transparan dan adil.



Daftar pustaka :
1.     Seluk Beluk Masalah Agraria, Gunawan Wiradi,2009;Hlm,57.
2.     Gun Germ & Steel, Jared Diamond, 2005. Hlm,97,305
3.     Dengarkan Jeritan Bumi, Oikotree,Bdg 2017;
4.     Noer Fauzi, 2003; Juga Wiradi, 2009b
5.     Pemusnahan Etnis Melanesia, Socrates S. Yoman; 


Tidak ada komentar

Posting Komentar