Ditulis Oleh
: Robert William
Pengantar
Relasi yang terbangun
antara rakyat Papua dan alamnya sudah ada sejak zaman nenek-moyang hingga
sekarang dan memiliki ikatan yang kuat. Makna Konotasi dari tanah menurut orang
Papua adalah hutan, bukit, sungai, dan laut. Hewan hingga Manusia yang mencari
penghidupan di atas tanah, sangat terikat oleh tanah itu sendiri. Tanah bukan
saja dijadikan sebagai ruang untuk mencari dan mengelolah kebutuhan saja tetapi
tanah juga menjadi tempat untuk membangun ikatan social, budaya hingga ikatan
spiritual yang kuat dari kepercayaan komunitas masyarakat yang hidup di atas
tanah itu sendiri, tanah juga merupakan media komunikasi langsung dengan jejak
nenek moyang atau leluhur.
Karena
Selama puluhan ribu tahun, Bangsa Papua sudah mengelolah tanah, membangun
keselarasan bersama alam, membangun kebudayaannya, dan menciptakan relasi yang
kuat antara lingkungan dan masyarakat itu sendiri, yang berarti apabila negara
atau korporasi merampas tanah dan menghancurkan hutan maka mereka juga
menghancurkan keharmonisan antara alam dan masyarakat itu sendiri atau membunuh
dan menghancurkan bangsa Papua itu
sendiri.
Dengan
masuknya model ekonomi eksploitatif yang dibawa oleh Indonesia telah memaksa
komunitas masyarakat adat yang bercocok tanam ataupun berburu dan mengumpulkan
makanan harus mengikuti atau mengalami regresi budaya dan perubahan gaya hidup
(bertransformasi), mulai dari contoh sederhana seperti bentuk makanan, minuman,
pakaian, rumah dan sebagainya (dalam memenuhi kebutuhan sekunder maupun
kebutuhan primer), dari yang primitive
ke modern dalam artian, masyarakat Papua harus menerima bentuk transformasi
kerja (bentuk perubahan pola hidup) dan memutus keterikatan bersama alamnya
juga dipaksa harus menerima moderenisasi dan mengikuti mobilitas globalisasi.
Perubahan
social, ekonomi, dan penguasaan atas tanah dalam masyarakat adat, juga
kehancuran ekologi yang dibuat oleh ekspansi modal ke wilayah-wilayah adat di Papua sudah sering diteliti oleh berbagai
kalangan, mulai dari lembaga pemerintahan, NGO (organisasi nirlaba), komunitas
mupun individu sangat banyak namun, sebagai pengantar diskusi sedikit
yang saya baca dan pahami akan saya tuliskan dalam beberapa topik.
Latar Belakang Sejarah
Ketika
Irian Barat (atau sekarang Papua) tidak kunjung diserahkan kepada Indonesia
seperti dijanjikan, sedangkan indonedia patuh membayar hutang Belanda yang
dibebankan kepadanya, maka pada tahun 1957 Indonesia kehilangan kesabaran dan
menyatakan “membatalkan perjanjian KMB” secara sepihak. Hal ini kemudian
diikuti dengan “nasionalisasi” atas perkebunan-perkebunan asing. Di sini harus
ditegaskan bahwa “menasionalisir” (dalam konteks waktu itu); bukan berarti
menyita, bukan pula merampok! Hal itu berarti “menguasai”, dan nanti akan
dibayar! Namun sayangnya, entah karena pertimbangan apa, hampir semua
perusahaan asing yang diambil alih melalui kebijakan “nasionalisasi” itu,
pimpinannya kemudian langsung dipegang oleh militer. Inilah awal mula dari
masuknya peranan TNI ke dalam bidang ekonomi. Setahun kemudian, lahirlah UU No.
5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal sebagai UUPA 1960). Karena isinya baru berupa
“pokok-pokok”, maka intinya adalah prinsip-prinsip, yang seharusnya dijabarkan
lebih lanjut dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang lebih
operasional. Sebelum terlaksananya UUPA
1960 presiden indonedia diganti oleh Jenderal
Soeharto (orde baru), praktik orde baru dalam menjalankan revolusi hijau pada
waktu itu tidak menunjukan keseriusannya. Orde Baru menerapkan pendekatan
“jalan pintas” (By-Pass Approach). Pembangunan pertanian didahulukan, akan
tetapi gagasan Reforma Agraria (RA) ditinggalkan. Yang dijalankan adalah
Revolusi Hijau namun tanpa Reforma Agraria. Asumsi dasarnya adalah bahwa dengan
menyelesaikan masalah pangan, yang dianggap sebagai inti masalah agraria, maka
konflik agraria dapat diatasi. Oleh karena itu, buat apa repot-repot
melaksanakan Reforma Agraria yang rumit itu1.
Pada
saat yang sama, Orde Baru juga mendorong masuknya arus investasi asing secara
besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang
setinggi-tingginya, dengan akibat bahwa pemerataan dan keadilan sosial dapat
disisihkan (ditanggalkan) terlebih dulu. Kebijakan Orde Baru memang bertolak
belakang dari kebijakan pembaruan agraria yang dianut oleh pemerintahan
sebelumnya.
Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru
secara manipulatif telah menyalahgunakan aturan hukum yang tercantum dalam
Pasal 33 UUD 1945, yang turunannya juga termuat dalam Pasal 1 UUPA, yaitu
mengenai “Hak Menguasai oleh Negara” (HMN). Dalam bagian Penjelasan, sangat
jelas dinyatakan bahwa “hak menguasai” itu bukanlah “hak memiliki” melainkan
hanya “wewenang untuk mengatur”. Oleh pemerintah Orde Baru, kewenangan untuk
mengatur itu bukannya dimanfaatkan untuk “kemakmuran rakyat”, akan tetapi untuk
“memfasilitasi modal asing”. Hal ini sematamata karena asumsi bahwa mengalirnya
modal dan bantuan asing itu akan membantu pembentukan “kue nasional” yang pada
akhirnya remah-remahnya akan mencapai ke bawah dan dinikmati oleh rakyat.
Ironisnya,
demi memfasilitasi para pemilik modal itu, tanah-tanah rakyat pun tergusur
dengan cara-cara yang tidak terpuji, dan sering disertai dengan tindak
kekerasan yang menelan korban harta dan jiwa. Kita semua kemudian melihat bahwa
hal ini telah meninggalkan warisan berupa ribuan kasus konflik agraria di
berbagai penjuru Indonesia juga Papua Konflik ini bukan saja terjadi antara
rakyat dengan instansi pemerintah, atau antara rakyat dengan perusahaan swasta
atau BUMN, akan tetapi juga antara instansi-instansi pemerintah sendiri.
Dalam konteks
historis tentang papua sendiri, rakyat papua telah menolak berintegrasi dengan
Indonesia sejak 1940an hingga sekarang. Delegitimasi proses Integrasi 1962
dengan adanya perjanjian new York (New York agreement) dan proses aneksasi 1
may 1963 yang didukung oleh amerika di bawah pengawasan UNTEA. Akhirnya tahun
1969, pepera (penentuan pendapat rakyat) dilaksanakan dengan melibatkan 1009
orang pro-integrasi kemudian indonesia memenangkan act of no choice itu. Dari
sinilah kemudian pembunuhan, perampasan ruang hidup hingga pelanggaran ham
terus terjadi dan menelan korban dan harta benda tidak sedikit. Akumulasi
kekeceawaan rakyat papua yang dibangun Indonesia telah terjadi sejak 1960 an
hingga sekarang, relevansi penyebab kekecewaan yang dimaksud di sini adalah
legitimasi sejarah papua yang sengaja dipalsukan Indonesia menjadi penyebab
utama kesewenang-wenangan dan konflik berkepanjangan dalam masyarakat Papua.
Relasi Manusia Dan Tanah
Ketika
leluhur manusia modern mulai tersebar dan menduduki wilayah-wilayah potensial
dan ideal yang berlimpah hewan untuk berburu serta mengumpulkan tumbuhan liar
untuk dijadikan makanan. 11.000 tahun yang lalu barulah manusia mulai beralih
kepada apa yang disebut proses produksi pangan: yaitu proses domestifikasi
hewan dan tumbuhan liar serta mengkonsumsi ternak dan tanaman budidaya. Dari
tempat-tempat (wilayah) ideal yang ditemukan inilah kemudian manusia mulai
berkembang, karena dengan berlimpahnya makanan maka semakin banyak waktu untuk
bersantai, sehingga lonjakan populasi manusia semakin meningkat dari waktu ke
waktu. Dari perkembangan populasi dan penemuan-penemuan baru alat untuk
bercocok tanam misalnya kapak batu, dsb, manusia mampu membangun relasi yang
kuat antara lingkungan tempat dia hidup dan antara sesama manusia itu sendiri2.
Alam
menyediakan tanah yang subur dengan kompos sedangkan manusia hanya mengolah
tanah itu untuk ditanami dan merawatnya hingga membuahkan hasil, mungkin
terlebih dahulu manusia harus bekerja dengan sepenuh tenaga dengan peralatan
seadanya sampai tuntas dan ditanami lalu disemai sampai membuahkan hasil yang
setara dengan kerjanya dan dipakai bersama-sama, dengan demikian terbentuknya
relasi social (kolektifitas) pertanian. Dari bentuk kerja kolektif, kemudian
manusia yang mendiami suatu wilayah menggantungkan hidupnya terhadap lingkungan
hingga menciptakan bentuk masyarakat yang sangat berbeda dari sebelumnya dengan
juga mulai menciptakan perkakas produksi.
Dari
2 abad terakhir, Rakyat Papua pun takluk kepada kemajuan peradaban. Mereka terpaksa harus berpindah dari suatu wilayah atau
menetap karena adanya tekanan pemerintah
dan korporasi ataupun konflik antara sesama.
A.
Orang
Papua dan lingkungannya
Pandangan
paling umum mengenai Orang Papua dan lingkungannya tidak terlepas dari sejarah
Papua yang begitu rumit dengan dinamika sejarahnya yang banyak dimanipulasi
oleh Indonesia, kemudian peristiwa-peristiwa politik dan dinamika social
ekonomi, turut menjembatani kesengsaraan dan penindasan.
Dari
satu perjanjian ke perjanjian lainya tentang legitimasi wilayah dan msayarakat
pun, tidak pernah melibatkan orang Papua. Sehingga persekongkolan antara
negara-negara maju yang (disokong korporasi internasional) dengan pemerintah
Indonesia.
Mereka
tidak pernah mempertimbangkan dampak eksploitasi dan penghancuran ekologi,
masyarakat lokal, hingga penghancuan adat dan budaya yang dihasilkan dari eksploitasi
sumber daya alam di Papua.
Dari
era zaman kolonial belanda dan sekarang jaman kolonial Indonesia mengokupasi
tanah Papua, masyarakat Papua tetap dianggap sebagai Sub-Manusia sehingga
penghancuran ruang hidup (ekologi), social masyarakat, budaya, dan ekonomi
tetap menjadi hal yang wajar atau “sah-sah saja” di mata Indonesia dan dunia.
Di
bawah pemerintah Indonesia saat ini masyarakat papua merasa menjadi orang asing
di negeri sendiri. Ekonomi dan politik telah didominasi dan dikendalikan oleh
orang non-Papua, serta pemerintah pusat. Korporasi-korporasi internasional atau
multinasional telah mengeksploitasi tanah-tanah (hutan) dengan leluasa karena
disokong oleh pasukan keamanan.
Penangkapan
ikan illegal, pembabatan hutan untuk sawit, dan penambangan liar terus
berlanjut kemudian menghancurkan sumber-sumber pangan, alam, dan rumah-rumah
masyarakat adat3.
B.
Makna
Hukum Adat dan Hak Ulayat
Pada umumnya, hukum adat adalah
aturan-aturan yang tak tertulis. Seorang pakar hukum adat, Almarhum Prof. Dr.
Mr. Soekanto, pernah mendefinisikan hukum adat sebagai: “kompleks adat-adat
yang tidak dikitabkan, tidak dikodifisir, bersifat paksaan dan mempunyai
sanksi, jadi sebabnya mempunyai akibat hukum” (Soekanto 1954: 2). Menurut Van
Vollenhoven, yang juga dikutip oleh Prof. Soekanto, “hukum adat Indonesia ialah
hukum Melayu-Polinesia ditambah dengan di sana-sini (sebagian kecil) hukum
agama” (Soekanto 1954: 50-54).
Secara
sosiologis, hukum adat berbeda dari hukum positif (formal) bukan saja karena
yang satu tak terkodifisir dan yang lain terkodifisir, tetapi juga karena hukum
positif itu lahir secara ditetapkan (enacted), sedangkan hukum adat timbul
sendiri melalui proses panjang, dalam perjalanan sebuah masyarakat. Namun baik
hukum positif yang berupa undangundang, peraturan dan sebagainya, maupun hukum
adat, adat istiadat dan sebagainya; secara sosiologis dapat dipandang sebagai
masuk dalam satu kategori yang disebut norma.
Adapun
aspek hukum adat yang secara khusus terkait dengan agraria adalah apa yang
dikenal sebagai “hak ulayat”. Istilah ini awalnya berasal dari masyarakat hukum
adat di Minangkabau, tetapi oleh UUPA diangkat ke atas secara nasional untuk
mengacu kepada, atau mewakili, hak-hak yang sejenis dalam berbagai masyarakat
hukum adat yang ada di seluruh Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan hak
ulayat ini adalah hak suatu komunitas secara keseluruhan (persekutuan hidup
atau masyarakat hukum adat) atas tanah-tanah yang diduduki, atas pohon-pohon,
kolam-kolam, dan benda-benda yang berada di bawah maupun di atas permukaan
tanah, dalam suatu wilayah yang dikuasainya. Van Vollenhoven menyebut hak ini
dengan istilah “beschikkingsrecht4” (bahasa Belanda).
Konflik Tanah Dan
Masyarakat Adat
Masyarakat adat yang mendiami
wilayah Papua memiliki banyak karakteristik, karakter yang berbeda inilah yang
kemudian menjadi sebuah acuan untuk melihat pola perkembangan masyarakat
tersebut hingga hubungan kerja antara masyarakat yang terbentuk oleh sebab
musebab dari dalam maupun luar lingkungannya, dari perubahan yang terjadi
inilah kemudian mendatangkan malapetaka bagi lingkungan bahkan manusianya
sendiri.
Penghancuran yang terjadi berdasar
pada perkembangan ekspansi modal di wilayah-wilayah adat, yang memaksa
masyarakat adat menerima penghancuran ini sebagai sebuah keniscayaan
perkembangan dunia modern.
Metode atau pendekatan yang dipakai
oleh penguasa juga pengusaha bermacam-macam, mulai dari terror psikologis,
bayar ganti rugi yang tidak sepadan, pemberian iming-iming kepada masyarakat
adat, buat gerakan abal-abal, serta kepala suku tandingan. Dari berbagai taktik
pendekatan yang dibuat ini bertujuan agar masyarakat tidak protes terhadap kerusakan lingkungannya atau protes terhadap
dinamika social yang terjadi.
Dari berbagai pokok masalah serius
yang dihadapi oleh masyarakat adat di papua hari ini membuat setiap orang
terlena terhadap penghancuran yang sedang terjadi di depan mata. Penghancuran
yang dimaksud sbb :
a.
Penghancuran
secara langsung (vulgar)
Penghancuran masyarakat adat secara
langsung terjadi di tengah kita hari ini, namun pemahaman soal penghancuran
melihat konteks realita dihayati sebagi sebuah proses pemusnahan baik itu
ekologis, maupun social dan politik.
Penghancuran secara
langsung juga merupakan upaya paling massif untuk memisahkan tanah dengan
manusianya. Banyak sekali system politik di negeri-negeri yang belum maju
hingga daerah yang paling tertinggal sekalipun tidak luput menggunakan metode
penghancuran masyarakat adat secara langsung, termasuk system kapitalisme,
kolonialisme, hukum dsb.
Penghancuran secara
langsung ini digunakan dalam berbagai macam hal, misalnya : perampasan tanah
adat oleh militer untuk membangun pertambangan Ilegal (contoh di korowai),
pembunuhan pemimpin adat untuk menghilangkan tendensi politik identitas
kebudayaan, penggusuran tanah secara paksa (seperti di nawaripi timika) dll.
Beberapa contoh penghancuran eksistensi masyarakat adat secara langsung ini
dikonstruksikan oleh militerisme yang kawin-mawin dengan kapitalisme
menggunakan birokrasi pemerintah daerah sampai pusat sebagai pengantara dan
medium kerja penghancuran itu sendiri, maka timbul perampasan tanah, penggusuran
paksa, ilegellogging, dan sebagainya hal ini dikonstruksikan secara langsung
dan tersistematis dengan bentuk kekerasan.
Sekarang penggunaan
kekuatan penuh untuk penghancuran masyarakat adat terjadi ketika negara yang
menghamba pada neoliberalisme menghamba pada kepentingan korporasi
multinasional. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai instrument :
1. Menyusun
UU yang mendorong dan melindungi kepentingan korporasi
2. Menggunakan
kekuatan polisi dan tentara untuk meredam protes gerakan akar rumput
3. Mengembangkan
intervensi kekuatan militer dan opersai intelejen untuk melindungi kepentingan
ekonomi kapitalis.
a.
Penghancuran
tersistematis (tidak vulgar)
Hal paling mendasar
selanjutnya adalah penghancuran masyarakat adat secara sistematis, dari
berbagai persoalan, yang paling Nampak hari ini yang kemudian menimbulkan
penghancuran terhadap masyarakat adat adalah :
1.
Uang
Uang yang dikucurkan
oleh pemerintah pusat melalui berbagai program pemerintah yang dapat menjangkau
pelosok daerah, contohnya seperti dana desa yang berjumlah miliaran diturunkan
kepada desa untuk dikelolah sesuai kebutuhan daerah atau wilayah desa. Lalu dari
desa mendistribusikan uang itu kepada masyarakat, di banyak kasus, dana desa
itu seperti kredit rakyat artinya rakyat akan dikasih uang apabila dia
(penerima) mau kooperatif terhadap pemerintah, tujuan hal ini adalah untuk
menerima semua legitimasi keberadaan pemerintah sebagai salah satu wadah yang
mampu bangun masyarakat lokal. tetapi dalam beberapapa peristiwa di Papua, hal
ini sangat disayangkan karena dengan adanya dana-dana dari berbagai macam
program pemerintah pusat membuat rakyat terlena, tidak mandiri, dan pasif
terhadap lingkungan dan ikatan social.
Fakta lain dari masalah
yang paling serius hari ini adalah mulai timbulnya ketergantungan terhadap uang
dan membuat masyarakat rela menjual tanah untuk mendapatkan uang dan mungkin
uang itu akan dipake untuk hal-hal tidak penting seperti mabuk-mabukan, sampai
ke persoalan perut.
2.
Sertifikat
dan hak property serta penguasaan atas tanah
Ketika pemerintah
Indonesia mencoba membuat program pembagian sertifikat gratis kepada seluruh
rakyat ternyata bukan hanya jebakan buat rakyat Papua tetapi pintu menuju
kehancuran masyarakat dan legitimasi wilayah adat.
Ketika klaim terhadap
tanah yang dijadikan property pribadi seorang tidaklah bisa disangkut pautkan
dengan kepemilikan bersama dalam komune, karena itu masyarakat adat tidak
membuat kepemilikan pengelolahan tanah diserahkan kepada pribadi (individu)
tetapi malah sebaliknya maka apapun dan siapapun yang disangkut pautkan kepada kepemilikan
pribadi atas tanah atau suatu wilayah kekuasaan adalah bentuk konkret dari
suatu mekanisme kerja menuju kehancuran masyarakat adat. bila kelompok-kelompok
komune terpercah dan membentuk individu-individu yang saling mengklaim atas
satu dan lain wilayah maka prasyarat pembentukan masyarakat yang saling
bermusuhan dan pemutusan rantai ikatan social akan terus berlanjut.
Kembali lagi kepada
sertifikat gratis, merupakan sebuah program pemerintah yang sangat efektif
untuk mengdiskreditkan masyarakat adat bahwa “apabila masyarakat tidak memiliki
sertifikat maka ia adalah penduduk illegal” dsb.
Suatu legitimasi kuat
dalam kepemilikan tanah secara kolektif adalah aturan baku (dan diakui dalam
aturan pembagian 7 wilayah adat), dalam adat yang juga membagi kelompok
masyarakat dalam berbagai sub-sub kelompok untuk saling menghidupi bukan
memisahkan individu dari kelompok dengan sertifikat gratis ala pakde.
3.
Undang-undang
tidak ramah lingkungan
Setelah jokowi menjabat
sebagai presiden, ia membuka kran investasi secara leluasa ke Indonesia, suatu
pamor kekuatan politik ekonomi di daerah asia tenggara dibangun atas dasar
investasi yang massif menanamkan modal ke Indonesia, ini bagian daripada
kelanjutan program presiden sebelum-sebelumnya membangun kekuatan ekonomi.
Program nawacita pun dirumuskan dan digodong-godong katanya memiliki rumus
pembangunan angka kesejahteraan di Indonesia yang akan membawa rakyat kepada
zaman keemasan, investor yang masuk ke Indonesia menanamkan modalnya di
berbagai sector tetapi lebiih parah dan paling banyak adalah sector energy,
tambang, dan batubara. Undang-undang pokok agrarian pun hanya dijadikan hiasan,
lalu pemerintah dalam hal ini DPRRI dan para menteri serta ahli-ahli hukum
sibuk merumuskan undang-undang baru atau keputusan-keputusan pemerintah yang
tentu sarat kepentingan investasi seperti UU Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA),
OMNIBUS LAW dsb.
Dalam bentuk perumusan
undang-undang yang tidak pernah melibatkan rakyat (dala hal ini masyarakat
adat) tentu memojokan peran serta eksistensi masyarakat adat itu sendiri, maka
investasi yang masuk pun tidak segan-segan menghancurkan lingkungan masyarakat
adat, penghancuran terhadap eksistensi dan hak ulayat masyarakat adat.
“Kalau di Papua,
tidaklah menjadi hal baru tentang penghancuran yang terus berlanjut dan
penegakan hukum yang rasis juga diskriminatif, persoalan ini sudah berlangsung
dari waktu ke waktu (zaman papua dianeksasi sampai sekarang) dan itu akan terus
berulang dari satu keputusan ke keputusan lainnya.
Pada dasarnya hukum pertanahan di
Indonesia yang dominan adalah hukum warisan belanda, dan dipolarisasi oleh Orde
Baru sekarang diterapkan ole Orde Paling Baru, dan tidak ada jaminan
keselamatan dan perlindungan hukum terhadap tanah adat, dan masyarakat adat.
Namun
yang penting adalah, penghancuran secara sistematis berdampak pada pola pikir
masyarakat yang semakin apatis dan tidak peduli terhadap kehidupan masyarakat
yang sama-sama teralienasi saat ini dan pengikisan terhadap kebudayaan orang
papua yang terjadi secara dramatis. Penyebabnya bisa diangkat dari beberapa hal
yang saat ini sangat Nampak atau terasa di tengah masyarakat Papua.
1.
1.
Mengindonesiakan orang Papua
Pengindonesiaan
orang Papua secara sistematis sudah dimulai sejak perbutan wilayah papua oleh
Indonesia dan belanda, tolak ukur pengindonesiaan ini dilatarbelakangi oleh
kepentingan sumber daya alam yang melimpah di Papua, bahkan sebelum Indonesia
merdeka Tan Malaka pernah singgung soal potensi minyak, kayu dan tambang di
Papua. bahkan Tan malaka memaksa Soekarno agar tidak berunding dengan belanda
tetapi melakukan penaklukan total terhadap belanda, targertnya adalah mengusir
belanda dari sabang sampai merauke. Setelah Indonesia dan belanda melakukan
berbagai macam pertemuan hingga Konferensi meja bundar, Indonesia dan belanda
tidak selesaikan masalah Papua secara serius dan menemukan poin-poin penting agar
terselesaikannya sengketa perebutan kedaulatan atas Papua.
Pada
tahun 1960, setelah orang Papua mempersiapkan segala atribut dan bentuk
kenegaraan West Papua, tanggal 1 desember 1960 barulah komite persiapan
kemerdekaan Papua memprolamasikan kemerdekaannya, namun ketika kemerdekaan
Papua baru berumur 19 hari maka soekarno membentuk operasi Trikora yang akan
berdampak pada orang Papua karena adanya operasi militer di seantero Papua,
hingga diperparah ketika jenderal Soeharto menjabat sebagai presiden Indonesia
dan berlanjut ketika Indonesia memenangkan Pepera 1969 yang tidak adil.
Pengkondisian
ini terus berlanjut dibawah kepemimpinan Orde Baru, di mana pengindonesiaan
orang papua dilakukan melalui berbagai cara, misalnya orang Papua yang memakai
koteka dan cawat disebut sebagai orang primitive dan tidak beradab, paksakan
orang Papua bergantung pada nasi daripada ubi, orang yang menolak hutannya
ditebang dicap sebagai anti pembangunan, bahkan paling parahnya orang yang
berambut gimbal disebut criminal dan separatis.
Pengindonesiaan
orang Papua dibawah Orde Baru dilakukan secara massif oleh ABRI ditambah dengan
program ABRI masuk desa waktu itu, tidak sedikit telah terjadi pembunuhan,
penghancuran lingkungan, pemerkosaan hingga operasi-operasi militer memperparah
masyarakat dan dengan terpaksa harus tunduk di bawah militerisme.
Dari
berbagai tindakan pemerintah Indonesia dari jaman Soekarno hingga Soeharto yang
diperebutkan di papua bukan saja alamnya tetapi juga melakukan penaklukan
psikologis rakyat papua itu sendiri, sehingga pengindonesiaan orang Papua telah
berhasil dilakukan hingga sekarang.
2.
Pendidikan
Kasus
di Papua lebih parah karena kurikulum di papua tidak sepenuhnya mengajarkan
orang Papua untuk berpikir secara kritis soal lingkungan hingga mempelajari
kebudayaannya sendiri,
Sekarang
lebih parahnya ketika Indonesia membuat program-program beasiswa yang mengirim
pelajar maupun mahasiswa ke luar Papua dengan konsekuensi bahwa mahasiswa
program beasiswa tidak boleh mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat politis
apalagi ikut demo, hukumannya pasti diputus beasiswa atau didrop out dari
kampus.
Karena
metode pendekatan menggunakan terror psikologis dan pemanjaan terhadap
masyarakat Papua dalam hal ini mahasiswa, maka ketakutan yang berlanjut terus dipupuk
hingga membuat psikologis orang Papua cepat menyerah, pasrah terhadap keadaan,
apatis dan tidak percaya terhadap kekuatannya sendiri.
3.
Strotipe dan Stigmatisasi Terhadap
Rakyat Papua
Pandangan
mayoritas orang di luar papua terhadap rakyat papua tentang cara hidup, pola
makan, politik dan identitas belumlah bisa disebut adil.
Bukanlah
hal yang tabu mendengar pemerintah menyebut atau mengstreotipekan orang Papua
itu sebagai bagian dari kelompok criminal, anti pembanguna, separatis dan lain-lain
yang bertentangan dengan hukum formal di Indonesia.
Dasar
pembentukan pola berpikir yang diskriminatif ini sudah dibangun sejak jaman colonial
dan diwarisi oleh rakyat hingga pemerintah bahkan pelaku hukum sebagai
suprastruktur masyarakat juga sama-sama membangun streotipe dan stigma terhadap
orang Papua.
Tujuan
stigma dan streotipe terhadap orang Papua dibangun agar justifikasi terhadap
wilayah Papua dan orang Papua itu selalu dianggap sebagai wilayah dan
orang-orang yang bermasalah sehingga pemerintah dan korporasi dengan leluasa
menanamkan hegemoni di tanah Papua. Dengan menggunakan stigma dan streotipe
terhadap orang papua, pemerintah ataupun korporasi dengan mudah masuk dan
dibantu oleh militer sehingga siapapun yang berseberangan dengan keinginannya
akan dibumi hanguskan.
Dampak dari hal ini
membuat rakyat Papua menjadi pesimis dan ketakutan dalam hal apapun sehingga
rakyat Papua harus bertahan hidup dibawah ketakutan dan tekanan psikologis yang
berkepanjangan
Penutup
Di
bidang kemasyarakatan tercatat dalam sejarah kehidupan rakyat Papua bahwa
selama lebih dari empat decade pemerintah tidak mengakui secara terbuka
eksistensi masyarakat adat Papua beserta hak-hak ulayatnya sehingga tidak
pernah melibatkan mereka pada posisi setara untuk membicarakan urusan-urusan
yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan hak ulayatnya.
Terdapat
banyak kasus di mana para pemilik hak ulayat diancam atau dipaksa menerima
kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat oleh penguasa NKRI5.
Dari
berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia “mengaminkan”
berbagai pelanggaran HAM di seluruh Papua, khususnya bagi mereka yang
membangkang terhadap keinginan penguasa, mereka akan dibunuh ataupun ditangkap
tanpa proses pengadilan yang transparan dan adil.
Daftar pustaka :
1. Seluk Beluk Masalah Agraria, Gunawan
Wiradi,2009;Hlm,57.
2. Gun Germ & Steel, Jared
Diamond, 2005. Hlm,97,305
3. Dengarkan Jeritan Bumi,
Oikotree,Bdg 2017;
4. Noer Fauzi, 2003; Juga Wiradi,
2009b
5. Pemusnahan Etnis Melanesia,
Socrates S. Yoman;
Tidak ada komentar
Posting Komentar