PERNYATAAN SIKAP PELAJAR dan MAHASISWA-MAHASISWI WILAYAH ADAT ANIM-HA KOTA STUDI YOGYAKARTA

Tidak ada komentar

Saat Mahasiswa Papua Jogyakarta menyatakan sikap (foto/Dok FB)

Masyarakat adat atau yang kini dikenal dengan sebutan Indigenous people semula adalah kumpulan dari beragam komunitas atau kelompok suku yang tersebar di seluruh dunia dan mempunyai struktur sosial serta terikat dengan pranata sosial di dalamnya. Definisi atau terminologi masyarakat adat sendiri sebetulnya tidak pernah jelas disebutkan, bahkan termasuk yang sudah digunakan oleh organisasi internasional, negara, dan institusi perguruan tinggi kini. Definisi itu lebih-lebih berkembang ‘berkat’ tulisan tangan seorang Van Vollenhoven yang saat itu menulis banyak perihal hukum adat Indonesia pada masa Hindia Belanda (KAI, 2019) dengan sebutan adatrecht yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Adat”. Definisi tersebut kemudian digunakan hingga saat ini.

Tidak ada definisi universal mengenai Masyarakat adat dan suku-suku. Tetapi, setidaknya menurut Konvensi ILO No. 169 (Wcms_141867.Pdf, n.d.) mengambil pendekatan praktis terhadap problem ini dan memberikan kriteria objektif dan subjektif untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok terkait (lihat Pasal 1 Konvensi). Kriteria-kriteria ini dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, Indigenous peoples (masyarakat adat). Kelompok ini dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri pengenalan diri sebagai anggota masyarakat adat. Misal: garis keturunan dari populasi yang menghuni negara atau wilayah geografis pada saat penaklukan, kolonisasi, atau pembentukan batas negara saat ini. Sementara yang Kedua adalah Tribal peoples (komunitas atau masyarakat kesukuan/suku bangsa). Kelompok ini sendiri dapat diidentifikasi dari kondisi sosial, budaya, dan ekonomi mereka yang membedakan mereka dari bagian-bagian lain masyarakat nasional. Status mereka diatur seluruhnya atau sebagian oleh adat atau tradisi mereka sendiri atau oleh hukum atau peraturan khusus (Who Are the Indigenous and Tribal Peoples?, 2016).

Hingga kini, terdapat 476 juta masyarakat adat di seluruh dunia yang tersebar di lebih dari 90 negara. Mereka berasal dari lebih dari 5.000 Masyarakat adat yang berbeda dan berbicara dalam lebih dari 4.000 bahasa. Masyarakat adat mewakili sekitar 5% dari populasi dunia. Sebagian besar dari mereka 70% tinggal dan berada di benua Asia (Indigenous Peoples Rights Are Human Rights., n.d.)

Berangkat dari definisi tersebut, maka masyarakat adat Auyu sendiri merupakan satu dari sekian banyak masyarakat adat yang tersebar di seluruh dunia. Namun, perlu diingat bahwa jauh sebelum negara maupun komunitas internasional hadir dan memberikan definisi terkait masyarakat adat itu, ‘masyarakat adat’ sendiri sudah ada terlebih dahulu. Komunitas atau masyarakat adat ini terbentuk melalui perjumpaan dan praktik budaya dalam kehidupan mereka antar generasi.

Perjuangan Hendrikus Frengky Woro dan masyarakat adat Auyu melawan perusahaan sawit bukanlah hal baru. Perjuangan mereka sudah berjalan sejak 2013 silam ketika Perusahan Tujuh Menara memasuki wilayah adat mereka. Tepatnya di Kampung Anggai, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel. Perjuangan tersebut berlanjut hingga sekarang. Berbekal organisasi yang telah dibentuknya, dia bersama masyarakat Adat Auyu mulai melakukan aksi perlawanan terhadap perusahan-perusahaan yang masuk di wilayah adat mereka. Salah satu perusahaan yang sedang mereka lawan ialah Perusahaan PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) yang masuk dan melakukan sosialisasi pada tanggal 19 Agustus 2017 di Kampung Ampera, Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel. Perjuangan tersebut berlanjut ke tahun 2022 ketika Frengky Woro mendatangi Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Boven Digoel guna menanyakan izin-izin apa saja yang telah dikeluarkan untuk perusahaan tersebut. Dinas terkait menjelaskan, yang memiliki wewenang mengeluarkan izin adalah Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua.

Berbekal keterangan tersebut, Frengky Woro didampingin kuasa hukumnya mendatangi Kantor DPMPTSP. Setelah melalui berbagai proses administrasi, mereka tak kunjung menemui titik terang. Merujuk rilis (Organisasi Lingkungan Menjadi Pengungat Intervensi Atas Gugatan Lingkungan yang Dilakukan Masyarakat Adat Papua - Pusaka Bentala Rakyat, 2023) yang dikeluarkan Yayasan Bentala Pusaka pada tanggal 13 Maret 2023 lalu, Frengky woro didampingi kuasa hukumnya melayangkan gugatan terhadap pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura berkenaan dengan kebijakan dan tindakan penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam seluas 36.096,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, pada tanggal 2 November 2021.

Hendrikus Woro, Kepala Marga Woro dari Suku Awyu, pemilik tanah adat, yang mendiami hutan adat di Kali Mappi, beralasan keputusan tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa SK 82/2021 diterbitkan dengan melanggar dan mengabaikan hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan bebas sejak awal sebagaimana UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, objek gugatan menggunakan izin lokasi kadaluarsa, menggunakan AMDAL bermasalah karena tanpa melibatkan marga Woro dan masyarakat luas, yang mengancam hilangnya hak masyarakat adat atas sumber kehidupannya.

Pada tanggal 17 Mei 2023, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dalam perkara Hendrikus Woro melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, atas terbitnya Surat Keputusan Kepala DPMPTSP Nomor 82 Tahun 2021 Tanggal 2 November 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 98 Ton TBS/Jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Berdasarkan pers rilis yang dikeluarkan Yayasan Bentala Pusaka di websitenya. DIjelaskan, Dua anggota masyarakat adat suku Awyu (Gergorius Yame dan Hendrikus Woro) dari Boven Digoel, Papua Selatan menjadi saksi dalam sidang gugatan yang diajukan dua perusahaan sawit terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023. Kesaksian di persidangan ini merupakan kelanjutan dari permohonan intervensi yang didaftarkan masyarakat Awyu sebelumnya– dalam Upaya mempertahankan hutan adat mereka dari konsesi perusahaan sawit.

Berdasarkan Perdasus No 6 tahun 2008 Pasal 7 Ayat 1 tentang lingkungan hidup; bahwa setiap orang berperan serta dalam menjaga, mengelola, memanfaatkan lingkungan berdasarkan prinsip pelestarian lingkungan hidup. Ayat 2 Setiap orang dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan atas kebijakan pelestarian lingkungan hidup. Dalam aturan yang sama pada pasal 9 Ayat 3 dikatakan bahwa setiap orang berhak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan pencemaran, kerusakan, perencanaan dan pemulihan lingkungan hidup. Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua pun telah diatur dalam Undang-undang Otonomi Khusus NO 21 Tahun 2001, Pasal 43. Berdasarkan aturan-aturan di atas, Tindakan Frengky Woro dan masyarakat adat Auyu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, Ketika masyarakat adat sedang gencar-gencarnya melakukan penolakan terhadap perusahaan sawit, Gereja, dalam hal ini Keuskupan agung Merauke justru menandatangani MOU dengan perusahaan sawit PT. Korindo (Korea-Indonesia) yang beroperasi di wilayah administrasi Kabupaten Boven Digoel. Bertempat di Wisma Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC Selaku Uskup Agung Merauke menandatangani MOU dengan maksud dua hal. Pertama, bantuan ribuan masker di masa pandemi Covid-19 dan kedua menerima uang sebesar Rp2,4 miliar (Papua, 2021). Tindakan ini merupakan sebuah ironi di bumi Papua. Gereja yang adalah pelayan umat, justru berkonco dengan perusahaan perusak alam di bumi papua yang selama ini dilawan oleh masyarakat adat di wilayah Anim-Ha.

 

Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka kami Pelajar dan mahasiswa-mahasiswi Wilayah adat Anim-Ha (Merauke, Boven Digoel, Asmat dan Mappi) kota studi Yogyakarta menyatakan sikap:

  1. Mendukung penuh Frengky Woro dan masyarakat adat Auyu dalam menolak PT. Asiana Lestari di wilayah Hutan Adat Auyu.
  2. Mendesak Hakim untuk melihat secara jelih alat bukti yang dihadirkan oleh masyarakat adat Auyu sebagai bukti valid dari masyarakat adat tersebut
  3. Mendesak pemerintah Provinsi Papua (dinas terkait) untuk memberikan transparansi terkait semua izin yang telah dikeluarkan untuk seluruh perusahaan kelapa sawit yang ada di tanah Papua. Mengingat dokumen tersebut bukan bersifat rahasia sebab sudah diatur dalam UU NO. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
  4. Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Selatan dilarang keras mengeluarkan ijin-ijin secara sepihak diatas seluruh tanah adat Masyarakat Papua.
  5. Mendesak Keuskupan Agung Merauke untuk segera menghentikan segala bentuk kerja sama dengan perusahaan yang merusak alam di tanah Adat Anim-Ha.
  6.  Gereja berhenti bekerja dengan perusahaan di seluruh Tanah Papua.
  7. Kami mahasiswa dan pelajar kota studi Yogyakarta wilayah adat anim-ha menolak perusahaan perusahaan yang beroperasi di wilayah adat Anim-Ha.
  8. Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, aktivis lingkungan maupun kegiatan kemanusiaan di seluruh tanah Papua.
  9. Hentikan segala bentuk perampasan tanah adat di wilayah adat Anim-Ha.
  10. Hentikan Bisnis dan operasi militer di seluruh Tanah Papua. 
  11. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan rasisme terhadap orang papua.
  12. Mendesak seluruh kampus di kota Merauke agar bersikap menolak seluruh perusahaan di wilayah adat Anim-Ha dan seluruh tanah Papua.
  13. Mendukung penuh masyarakat wadas melawan perusahaan.
  14. Mendukung masyarakat adat kalimantan dalam mempertahankan hutan adat mereka.
  15. Mendukung masyarakat adat di seluruh dunia dalam melawan eksploitasi sumber daya alam.
  16. Kembalikan hak-hak politik Orang Asli Papua.
  17. Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat.
Sumber : Facebook 

Tidak ada komentar

Posting Komentar