𝗗𝗶𝗯𝗮𝘄𝗮𝗵 𝗞𝗼𝗹𝗼𝗻𝗶𝗮𝗹𝗶𝘀𝗺𝗲 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗔𝗱𝗮 𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗗𝗲𝗽𝗮𝗻

Tidak ada komentar

Oleh: Muhammad Magal


 “Hari dimana aku menutup mataku lalu mendapati senyum kebahagian, melihat  jiwa jiwa baru lahir bertebrangan diatas birunya awan, secera itulah, generasi diatasku menebarkan ide, meraungi samudra menaklukan monster levihatan yang sudah lama berdiam dalam palung lautan"

Sudahi semua, segera lepaskan kemurungan nasib bertahun tahun dalam penjara pikiran dan jiwa yang mati. Realitas mengajarkanmu bahwa sesungguh kau dan aku sudah mati dalam tembok tembok ratapan kolonial. Bangunlah kawan, dunia yang sedang kita pijak berada diatas kuil  jakarta, Dunia ini telah mengajarkan kita bahwa tidak ada namanya kedilan dalam kebenarannya si kolonial.  Tidak ada pilihan, selain Kematian. Harapan kita hanyalah  darah, Darah sebagai resiko mutlak dalam revolusi. Bentuk dari kesadaran tertinggi atas penghormatan terhadap harkat dan martabat kita sebagai manusia yang merdeka.

Mama bangsa melahirkan generasi muda dalam setiap angkatan dengan beragam karakter. kita dilahirkan sebagai pemenang dan itu terus di warisi dalam para para adat, Honai sakral. Tidak ada satupun dari kita dilahirkan sebagai pecundang atau diajarkan untuk mengampuni si pencuri yang ketauhan mencuri dirumah kita atau menjadi bagian dari penjilat dengan penawar  manis (mijim). 

Pada kenyataan sesungguhnya karakter itu telah berubah sejak kehadiraan Si kolonial. mereka telah membangun kuil kuil baru dan menghancurkan peradabaan bangsa kita. Mengajarkan pada kita tentang dunia mereka yang sama sekali absen dalam kehidupan kita. Mereka benar – benar berhasil menghancurkan mentalitas kita sebagai pribumi dengan sejumlah gambaran yang begitu  rasis, mereka tidak akan puas dan begitu seterus rasis itu dipeliara hingga memojokan kita pada lorong lorong gelap dan hampa. Dan meminta kita untuk tetap disitu, tunduk pada Budaya yang bisu. Itu dibenarkan oleh hukum mereka. Karna sejatinya kebudayaan kita  sebagai bangsa yang takluk akan dianggap tidak beradab. 

Sejak penaklukan teritori kita, mereka hadir berlipat ganda dengan beragam suku – suku dinusantara. Hari ini kita menjadi minoritas diatas tanah yang kaya akan sumber pasokan kehidupan. Besok akan menjadi cerita bahwa pernah ada orang – orang yang hitam kekar mendiami wilayah itu. Lihatlah, keberhasilan kolonialisme menguasai sektor pasar dengan sistem monopoli yang picik dan rakus. Sekali lagi, mereka tidak memberimu ruang untuk mengatur kendali atas pasar. Tidak ada satupun kebijakan yang melindungi pasar ekonomi kita. Birokrasi Papua, tidaklah lain orang – orang yang didik untuk menerima printah dari atas, struktur kolonial.  Birokrasi kotor milik kolonial, mencuci tangan diatas penderitaan rakyat Papua tidak terhindarkan menjadi bagian dari karakter unggul si budak.

Didalam kolonialisme tidak ada satupun ruang ruang bagi bangsa kita untuk berpikir atau paling tidak menaataanya kembali. Didalam Jantung kolonialisme hanyalah menggambil dan menggali sebanyak mungkin dari sumber kekayaan bangsa yang ditaklukan. Anda tahu, bagaiamana nasib saudara kita Amungme, mereka orang orang yang paling tersakiti jiwanya, emasnya diambil lalu ditukar dengan garam dan beberapa makanan kaleng. Gunung yang dianggap sakral itu diubah menjadi lapangan bagi kapitalisme, sejumlah negara berselingkuh dengan si kolonial lalu merabek satu persatu tubuhnya hingga tak ada sisa tulangpun, begitulah rakusnya ketika dibawa penjajahaan. 

Dibawa kolonialisme, kita terasing dalam sabuk campakkan, yang keberadaan kita ditiadakan. Si kolonial membuat kita menjadi manusia manusia yang haram untuk hidup. Haram untuk berpikir, haram untuk beraktivtas atau menggambil dari sumur kita sendiri. Pada akhirnya mereka berhasil menciptakan manusia manusia Papua yang memiliki pandangan yang sama persis seperti si Kolonial. Sebagian dari saudara kita, mencuci tangan yang berasal dari air lumpur jeritan dan tangisan sesama bangsa. Mereka orang – orang yang dilemma moralnya, hidup dalam kesadaran palsu dan mati dalam kubangan lubang penyesalan.

Situasi apa yang sedang kita alami dibawa kolonialisme, keterasingan,  Si kolonial membuat kita tak berdaya hingga seolah olah benar adanya!  Mereka membuat kita tersistematis berada dalam situasi yang diciptakan.  Membawa pikiran kita terjebak dalam erotisme sessat, kita menjadi candu dalam perdebatan agamis, candu dalam jeritan ekonomis, candu sebagai pemabuk yang dikenal dalam lingkungan kita (Onome), candu sebagai penjudi, berdebat dalam sejumlah angka – angka yang tidak jelas,. Dan semua itu sengaja dibuat begitu rapi, menjamur dimana – mana, samping rumah kita, gang keluar dan semua sudut sudut rakyat Papua bermukim. Tujuan dari si kolonial jelas bahwa, kita menjadi orang – orang yang terasing. “Biarkan mereka tenggelam dalam lautan persoalan pribadinya, jangan sampai mereka menyadari bahwa diatas itu ada setumpukan persoalan bangsa mereka, seperti benang talingkar yang susah diuraikan. Sambil berharap harap bangsa ini menjadi pelupa, jati dirinya. Mengarakan kita agar tidak banyak beraktivitas, melepaskan kita agar jauh dari alat – alat produksi ” begitulah bagaimana si kolonial berpikir. Tujuannya agar dengan mudah bahwa semua kekayaan dan kandungan yang dimiliki oleh kaum yang ditaklukan menjadi harta bagi si kolonial, Harta bagi segilintir pejabat- jebat oligarki di Pusat. Mereka  sebagai klas penghisap bernama negara dan militer.

Mengaggumkan bukan main, ketika kita tumbuh menjadi seorang lelaki dan perempuan Papua lalu mendengar bahwa kita adalaha anak anak yang  dibesarkan dalam noken mama Bangsa,. Noken yang di buat oleh mama Papua salah satu  kebudyaan tertinggi dalam sejarah kita. Tidaklah lain hasil dari proses intraksi bersama alam melahirkan kecerdasaan yang begitu detail. Itulha sebagian dari produktivitas kita yang  harus dijaga sebelum dilahap si kolonial.
Karna kebenarannya kita bukanlah anak – anak yang dibesarkan dari gerobak bayi? Ketika  menangis, bukanlah bahasa kolonial yang mampu mendamaikan kita dalam tidur, melainkan bahasa mama, ya! Mama bangsa Papua. Kau dan aku bermain diderasnya ombak, berlari diatas  lereng bukit pegunungan, tanpa ada rasa takut, kita saling mengenal dalam kebudayaan kita, tantang cerita cerita nenek moyang kita, kita tumbuh dalam rasa cinta akan alam, cinta akan kecerdasaan dalam Ilmu pengetahuan kita. Berpolitik sesuai dengan pandangan kita, berdagang sesuai dengan kapasitas kita. Namun, sementara ini, harapan itu dikubur oleh rasa yang sama dan musuh yang sama. Kita hidup dalam hukum dan pilihan bangsa yang duluh bernasib sama di masa lalunya,  kini masa depannya menjadi kejam seperti bangsa Eropa lainya. Mereka tidaklah lain, biadab!

Tak terhinga nilainya dalam pembebasaan, darah itu terus mengalir, jika diberikan pilihan, tentu mati di diliangkubur atau membusuk dalam tembok penjara, atau mungkin mati ditembak peluruh panas, atau kah ditabrak dalam perjalanan revolusi. atau mungkin ditikam beyonet berseragam. 

Kita memilih malastau namun pada akhirnya kita mati.  Melawan atau tidak, rasanya sama sakit hati dan kematian. Setiap bangsa di bumi menempuh perjalanan dengan sejarah yang kelam. Mari kita berjalan dengan napas dengan jiwa dan pikiran sebagai bangsa yang bebas


Penulis adalah Aktivis Masyarakat Adat Independen Papua Timika 

Tidak ada komentar

Posting Komentar