ADA TANAH DAN DUSUN MAKA ADA KEHIDUPAN

2 komentar

Penulis Oleh: Yulianto Murib 

Almahrum Mgr Jhon Philip Saklil Pr, Uskup Keuskupan Timika menyatakan demikian: “Orang Papua tidak bisa hidup dari hasil jual tanah tetapi hidup dari hasil olah tanah.” Dan juga filosofi orang Papua bahwa tanah sebagai ibu yang mana memberi kehidupan, akan tetapi melihat kenyataan hidup dewasa ini kesakralitas tanah sebagai ibu tidak mencanankan dalam diri orang Papua itu sendiri. Kini tanah diperjualbelikan demi kepentingan ekonomi dan politik. Dengan demikian, apakah realita ini terus dibiarkan? Tentu “TIDAK”. Tindakan ini menghancurkan eksistensi manusia yang hidup di atas tanah ini sehingga perlu ada sosialisasi yang membangun kesadaran dari setiap individu, keluarga, suku, kelompok besar maupun kecil, komunitas dan lebih luas lagi dalam kalangan masyarakat umum supaya ada kesejajaran antara manusia dan alam ciptaan. Dengan demikian, kelangsungan hidup manusia akan terjamin baik dari hasil yang dikelolah dari sumber alam guna menunjang kelangsungan hidup manusia secara teratur. 
Untuk mengatasi tingkat kemiskinan, hendaknya orang Papua yang hidup di tanah Papua perlu bekerja dilahannya sendiri. Ketika orang bekerja di tanah dan dusun miliknya sendiri, mereka akan merasakan bahwa kehidupan itu ada di sana. Jika ada tanah dan dusun sendiri, maka tungku api akan terus menyala setiap saat. Ketika tungku api menyala maka ada kehidupan dan mereka tahu bahwa makanan telah tersedia di rumah seperti: ubi, keladi, sayur-sayuran, buah-buahan berupa ketimun, buah padang (kelapa hutan), jagung, air (tebu), kemudian daging babi hutan, kus-kus. Semua itu disediakan oleh alam. Dengan demikian, orang akan duduk bersama dalam suasana hati yang tenang dan merencanakan program kerja jangka panjang maupun jangka pendek untuk mewujudkan masa depan agar menata hidup yang baik. Oleh karena itu, bagi orang Papua tanah dan dusun dipandang sebagai  tali pusat bagi setiap suku bangsa yang menghuninya. dimana kita mengetahui bahwa dengan adanya tanah dan dusun maka setiap saat dapat menghidupkan dan menjamin kelangsungan hidup manusia yang hetrogen untuk bertahan hidup dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi di masa kini. 
Kehidupan orang Papua menyatuh dengan alam tempat dimana mereka berada dan itu menjiwai mereka, sehingga memiliki sudut pandang yang alamiah. Orang Papua sangat bersahabat dengan alam, sehingga hutan trofis, gunung bersalju menjadi tempat perlindungan dan kicauan burung pada sore hari dan pagi hari  ialah lagu pengantar tidur maupun penanda (alarm) untuk membangunkan pada pagi hari bagi mereka. Inilah eksistensi manusia Papua di mana memiliki kemampuan berkomunikasi dengan alam sekitar. 
“Hutan Papua merupakan bagian terpenting masyarakat asli Papua. Sebagian besar penduduknya mendiami kampung-kampung di kawasan hutan. Maka, hutan adalah tumpuan hidup yang utama karena kebutuhan hidup penduduknya terpenuhi dari alam hutan .” 
“Tanah juga dilihat sebagai identitas diri saya. Tanah bukan hanya kebun, tempat sakral atau ibu, tetapi tanah adalah diriku, identitasku .” Namun dengan adanya perkembangan globalisasi, telah mengubah tatanan sosial dan pola pikir sehat setiap manusia sehingga tidak mengunakan rasio yang diperoleh itu dengan baik. Dengan demikian, manusia dan alam tidak bersahabat. Artinya bahwa perilaku manusia terhadap alam tidak paten sehingga terjadi kontaminasi atas perbuatan manusia terhadap alam sekitar dimana tanah diperjual-beli, penebangan liar, pengusuran terjadi di mana-mana akibat rasio yang tidak dipergunakan dengan baik dan ini merupakan puncak dari perilaku manusia.
Dengan melihat situasi saat ini, namun, penulis membatasi tulisan ini dengan hanya melihat konteks kehidupan orang Lani di Ilaga Kabupaten Pucak. Penulis ingin untuk menguraikan bagaimana dasar filosofi orang Lani, melihat dan mengetahui kehidupan asalinya dan wajib dipertahankan dan dipelihara.
Tanah Papua yang ialah ibu bagi masyarakat Papua (orang Lani-Ilaga), dari kelimpahannya menyediakan dan memberikan segala kebutuhan yang memungkinkan mereka bertahan dan melangsungkan kehidupannya di atas tanah ini. Dari generasi ke generasi masyarakat Lani tidak pernah mengalami akan kebutuhan hidupnya, karena tanah “Ibu” dengan limpahnya memberikan kepada anak-anaknya melangsungkan hidupnya lebih baik dan penuh bahagia. Oleh karena itu, masyarakat Lani memiliki sebidang tanah. Dan tanah itu harta warisan tak berkesudahan yang diperolehnya secara turun-penurun para leluhur kepada ayah-ibu dan akan diwariskan kepada anak cucu kedepan. Harta berharga yang diwariskan para leluhur tidak boleh diperjualbeli melalui tawaran manis. Jika dibiarkan maka keturunan berikut tidak pernah mengalami kebahagiaan. 
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bahwa kebersatuan masyarakat Lani pada waktu itu, kini telah dihempaskan oleh tiupan angin. Bahwa perkembangan yang terjadi merembes ke pelosok-pelosok negeri sehingga telah menggeserkan nilai kebahagiaan asali masyarakat Lani secara transparansi. Semangat kebahagiaan dan kebersamaan yang dihidupkan sejak dahulu kalah hilang tanpa arah. Karena itu, perlu ada suatu dukungan dari pihak Pemerintah yang dapat ‘mengarahkan’ untuk berpikir jernih demi kepentingan bersama (bonum commune) yakni meningkatkan rasa kepedulian terhadap masyarakat lokal agar masyarakat tidak menjadi traumatis oleh karena pergeseran nilai-nilai keasliannya. Pemerintah Puncak perlu memberikan pemahaman yang baik dalam kehidupan masyarakat. Mereka diajarkan kembali untuk bisa bekerja mencari nafkah di dusunnya tanpa ada rasa takut dalam dirinya. Hasil usaha kerja keras dapat dipelihara kembali untuk suatu perubahan kehidupan yang terkikiskan oleh arus zaman yang serba instan ini, sehingga keasliannya bersinar kembali seperti sediakala. Sebab dengan berkebun, disitu ada kehidupan yang membahagiakan. Dengan menanam hasil kebun, kehidupan terjamin kembali. 
Orang Lani di Ilaga berharap bahwa dengan adanya perubahan situasi yang mengubah tatanan nilai kebudayaannya, dirinya ditindas dan tidak bebas. Ketidakbebasannya dikarenakan dalam pemahaman yang holistik bahwa hak hidupnya, keaslian nilai budayanya diambil ahli oleh para pemodal. Misalnya tanah, dan dusun dijadikan sebagai objek atau lahan bisnis. Dampak tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat yang pemahamannya amat terbatas (kaum miskin). Hidup menjadi tersingkir di atas tanahnya karena perkembangan telah masuk dalam wilayahnya. Akibatnya terjadi perpecahan yang amat mewarnai oleh karena kekuatan-kekuatan yang di atas (Pemerintah). Masyarakat dihadapkan dengan konsep-konsep politik, sosial, ekonomi, ideologi yang menarik dan berakibat pada keterpecahan masyarakat Lani sendiri. Peraturan adat dan budaya asli pelan-pelan diarahkan untuk menuju kepada kepunahannya. Oleh karena nilai kebersatuan tidak lagi dipertahankan. Persaudaraan menjadi hilang karena pengaruh kehidupan modernitas yang menguasai mereka. Kehidupan instan menggantikan kehidupan asalinya. Masyarakat dipengaruhi untuk mengolah dusunya di kios, pasar, warung dan sebagainya. Bukan mengolah dusunnya di hutan lagi. Oleh karena itu, ini menjadi perhatian serius untuk dihadapi oleh para intelek masyarakat asli orang Lani sendiri dan pihak gereja.
Satu hal yang patut kita ketahui bersama bahwa sesudah menyerahkan tanah dan dusun tempat kepenuhan kebutuhan hidup, kemudian bagaimana nasip kita kemudian. Kita perlu berpikir kristis akan akibat yang akan terjadi nantinya. Apakah anda ingin kehilangan sesuatu demi kebutuhan sesaat? Ataukah anda ingin terus berada dibawah tekanan batin jika anda tidak dihargai?. Kita sebagai putra-putri pribumi hendaknya duduk bersama menyelamatkan tanah, dusun dan hutan kita sebagai lahan ekonomi yang mengandung harta benda.   
Kita perlu belajar dari situasi saat ini bahwa khir-akhir ini, lingkungan alam semakin terancam oleh krisis ekologis yang merupakan pusat kehidupan manusia yang merupakan akibat dari penggunaan sumber alam secara tidak teratur; melalui pencemaran air, udara dan tanah melalui tindakan manusia terhadap alam ciptaan yang mengancam eksistensi lingkungan hidup seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Banyak orang merasa waspada terhadap kerusakan alam dan lingkungan hidup oleh manusia. Supaya manusia dapat meninjau kembali sikap manusia terhadap alam ciptaan, pihak gereja juga turut berperan dalam usaha perusakan itu. Untuk menghindari pengerusakan alam ini, manusia mesti memiliki suatu sikap yang pasti, yakni:
1. Mencintai alam. Mencintai alam merupakan memiliki rasa cinta terhadap makluk lain, karena alam merupakan karya Allah, maka manusia harus mencintai semua ciptaan Allah. Ia menerima segala sesuatu dari Allah, dan memandangnya serta menghormatinya hasil karya tangan Allah (GS 37). Untuk menghormati alam kita harus belajar dari Fransiskus Asisi yang menghayati kasih terhadap alam dan menganggap semua makluk adalah saudara dan saudarinya.
2. Rasa hormat terhadap alam. Rasa hormat terhadap alam sebagai sikap dasar dari kesaran ekologis. Sikap hormat tersebut mengandaikan hidup dan segala yang ada, memiliki nilai dan kebaikan dan nilainya, tidak hanya secara lahiriah bagi manusia tetapi juga bagi dirinya sendiri. Karena alam dan keutuhannya bukan saja merupakan suatu persediaan bahan baku. Alam itu merupakan suatu nilai yang tidak diganggu gugat. Karena setiap campur tangan dalam dunia non-manusiawi suatu alasan yang tepat untuk menemukan kembali rasa hormat terhadap alam, maka akan pilih dengan sendirinya. 
3. Tahu diri dan tahu batas. Rasa hormat itu menuntut manusia bersikap tegang rasa, tahu membatasi dan mengontrol diri. Manusia tidak bisa menuntut kebebasan absolut untuk meneliti dan mengadakan eksprimen ilmiah secara tak terbatas. Karena dengan bertindak naïf dan gegabah merupakan akibat dari tindakan yang merusak.
Gerakan Gereja Keuskupan Timika untuk melindungi dan mengelolah hak dan sumber-sumber penghidupan masyarakat asli Papua demi terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Untuk itu, Mgr Jhon Philip Saklil Pr, menyatakan: “Kita miskin diatas sumber alam yang kaya raya. Tanah dan dusun diahlifungsikan untuk kepentingan pembangunan dan kepentingan kaum pemilik modal. Perilaku boros, mental cari gampang, jual tanah dan dusun, menggantikan pangan local dengan “raskin” mengakibatkan masyarakat warga semakin miskin diatas kekayaan alamnya. Kemiskinan membuat kita kehilangan hak hidup yang layak dan bermartabat. Maka itu kita diajak untuk ikut terlibat dalam gerakan melindungi dan mengelola sumber hak ekonomi masyarakat warga.  

DENGAN TEGAS MENOLAK PEMBANGUNAN KODIM DI ILAGA DISTRIK GOME

Saya sebagai putra daerah merasa prihatin ketika tempat untuk mencari (menafkai) kehidupan masyarakat diberi kebebasan kepada orang lain masuk dan menguasinya. Sebab, mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka. Keberadaan mereka dulu sudah aman, karena mereka dengan bebas mesuk keluar hutan mencari nafkah hidup tanpa ada rasa takut. Namun, semuanya telah berubah dan ketakutan menghantui hidup mereka dengan kahadiran para penguasa. Kekhawatiran akan membuat masyarakat Ilaga berada dalam situasi buruk. Maka, apakah dengan pembangunan Kodim di distrik Gome kekawatiran dan rasa takut akan hilang dan mereka akan bebas? Tentu TIDAK. Ruang gerak mereka  semakin sempit, tertekan dan hidup di dalam penderitaan.
 Rencana pembangunan Kodim di distrik Gome, Kab. Puncak Ilaga. Akan berdampak buruk bagi masyarakat asli setempat. Mereka menolak karena wilayah Gome tersebut adalah tempat milik warga dan sangat sakral. Jika lokasinya diserahkan, maka otomatis warga setempat akan kehilangan tempat tinggal dan kehilangan tempat pencaharian ekonomi. Sehimgga  bagaimana nasip mereka dan anak cucu mereka kemudian hari. Hal ini sangat dikawatirkan oleh masyarakat asli setempat demi kelangsungan hidup mereka. Para pemodal yang juga mengkeruh persoalan di Papua yang mana mereka hanya berorientasi pada kekayaan alam tanpa mempedulikan manusia-manusia Papua dan alam sekitarnya. Persoalan ini juga menajdi terakumulatif dan banyak yang mulai menyadari akan jati dirinya, eksistensi diri dan keutuhan ekologi. Dengan demikian, pembangunan tersebut perlu dihentikan supaya masyarakat memperoleh kebebasan atas hak hidupnya dalam memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus ada rasa takut. 
Masyarakat akan bebas dan mampu mengekspresikan diri tanpa rasa takut apabila tidak ada kehadiran milisterisasi. Oleh karena itu, Pemerintah Kab. Puncak hendaknya membantu masyarakat menjawab pergumulan mereka apa yang menjadi kerinduan mereka saat ini. Rakyat kecil tidak mampu berbicara dengan kemampuan intelektualnya yang terbatas. Pemerintah adalah payung yang harus menaunggi mereka supaya mereka merasa tenang dalam kehidupannya.
 Di zaman sekarang begitu banyak pengalaman membuat masyakat terasa terancam secara langsung mengalami kekerasan fisik dan pembunuhan oleh pihak militer Indonesia. Sejak tahun 1963 sampai saat ini, sudah sangat banyak masyarakat asli Papua menjadi korban tertembak mati oleh milisterisasi di tanah Papua.  
Pemimpin yang melayani selalu berfokus kepada pihak yang dilayani, agar mereka sejahtera dan bahagia. Dewasa ini menjadi suatu fenomenal yang sedang terjadi karena satu penyebab utama yaitu rasa dendam, benci dalam hati dan melampiaskan keinginan emosional dengan berbagai cara. Orang kaya yang memiliki rumah mewah, mobil mewah, tanah yang luas, dan harta benda yang berlimpah selalu bersuka cita. Kursi sofa menjadi tempat dimana mereka menikmati kebahagiaan, sedangkan orang tersingkir meneteskan air mata, menderita, kelaparan, mereka tidak dapat diperhatikan walaupun mereka membutuhkan perhatian penuh. Memberikan perhatian dalam arti cukub menjawab pergumulan mereka. Akan tetapi mereka tetap saja membangun tembok pemisah yang akan menjadi jerat bagi mereka sendiri. Maka, salah satu penyakit yang selalu timbul menghantui mereka ialah kegelisahan, kecemasan, iri hati dan dendam. Mereka kehilangan rasa kepedulian, sehingga hati, pikiran dan jiwa mereka dihimpit dan terperangkap ke dalam jaring yang telah mereka pasang. Sikap dan cara kita hidup sebelumnya telah diubah oleh harus waktu. 
Mgr, Hilarion Datus Lega, uskup Manokwari Sorong, juga menanggapi situasi yang sama melalui cara lain yakni pewartaanya. Dengan tegas  pendek kata, ia menyatakan bahwa “manusia digambarkan gemar berlaku curang alias tidak adil. Bukan hanya curang terhadap Yahwe, melainkan juga suka bersikap tidak adil terhadap sesamanya. Mengenai perilaku curang, kitab Imamat antara lain menegaskan sikap Yahwe, “janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili sesamamu dengan kebenaran. Janganlah engkau pergi kian kemari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesama manusia: Akulah Tuhan ” (Im. 19:15-16). 

Sumber:
• Gobay Daniel and Tim Kerja SKPKC FP, “Papua Bukan Tanah Kosong.” Jayapura: Sentani, 2018. Hal. 85.
• Resubun Isak: 2018, “Antropologi Papua: Materi Perkuliaan.” Jayapura: STFT “Fajar Timur. Hal. 12.
• Gaiya: 2018, “Yesus Tungku Api Kehidupan” Sekret Keuskupan Timika. Hal. 3.
• Lega H. Datus, Hal:2013, “Memoria Pastoralia, Surat dan Sapaan Gembala.” Yogyakarta. Hal. 7 .

Penulis mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura - Jayapura- Papua

2 komentar