Sa Masih Ingat Waktu itu; Luka Memoria Passionis
Oleh: benny magal.
Saya akan bercerita sedikit tentang ingatan (akan) penderitaan, orang pintar dong (mereka) bilang Memoria passionis. Memoria Passionis ini diperkenalkan oleh seorang bapak Teolog Jerman, J. B. Metz. Dalam analisisnyaa, beliau mengatakan bahwa teori ingatan penderitaan itu adalah aras yang membawa setiap manusia untuk melihat kembali segala bentuk penderitaan yang pernah terjadi di masa lalu. Masa lalunya dipenuhi dengan Ingatan – ingatan penderitaan, sejaka usianya 16 tahun, beliau direkrut sebagai kurir oleh pemerintah NAZI dan mengalami goncangan jiwa yang berat pada saat kembali ke kota kelahirannya, lantaran kawan sebayanya dibunuh. Ratapan dan tangisan tanpa kata yang tidak dapat didamaikan menghantui jalan hidupnya. Tempat dia lahir, kejadian-kejadian yang menyedihkan seperti pembunuhan terhadap golongan Yahudi yang jutaan jumlahnya, dan suasana kota itu menjelang kejadian-kejadian tragis di situ sangat berpengaruh dalam hidup dan pergumulan teologinya. Namun begitu, dalam teori ingatan penderitaan, setiap manusia dengan segala penderitaan yang pernah dialami, harus maju dan lawan dan terus menjadi lebih baik.
Apa yang dirasakan Teolog Jerman, J. B. Metz, tidak jauh beda dengan apa yang sa alami dan sebagian teman teman Papua lainya. Tulisan ini menjadi bagian dari penderitaan yang telah di hitam putihkan dan Sa ingin berbagi pengalaman kehidupan. pengalaman ini menggisyakan tentang bagaimana institusi negara berperan dalam kehidupan masyarakat Amungme di kala itu. Saya melihat, saya merasakan, dan saya menjadi korban itulah yang akan menjadi dinamika tulisan ini. Didalam tulisan ini, lebih banyak saya ambil berdasarkan pengalam pribadi, memori masa lalu yang masih semar- semar. Dan juga saya banyak mendengar tentang cerita orang tua, ketika duduk minum kopi didepan teras rumah atau ditungku api. Bahasa daerah selalu menjadi bagian dari percakapan orang tua. Kadang mereka bercerita tentang mereka dipukul lalu mereka saling menertawai, kadang juga mereka bercerita sambil menangis. Mereka adalah pelaku sejarah dan saya akan menulis setiap sejarah tua itu.
Entahlah, jika mungkin menurut anda (pembaca) nantinya menilai ini seperti apa? obejektif atau subjektif tulisan ini. Disini saya hanya mau berbagai cerita tentang masa lalu. masa lalu yang tidak boleh dilupakan, Jasmerah !! kata bapak founder kita Soekarno. Silahkan bagaiaman nantinya anda simpulkan bagaimana institusi negara berperan saat itu? bagaimana Freeport dan Militer memperluas hegemonynya di tengah tengah masyakarat Amungme saat itu.
selamat membaca!
Di depan pintu terdengar suara gesekan sepatu laras dan suara ketokan pintu (ketoknya dengan sepatu) agak sedikit kasar dengan bertutur “ buka pintu cepat!! Siapa sini yang disebut Mama Yosepha Alomang?? Cepat bilang!!” sambil menodong Moncong setrum senjata jenis Mosser didepan wajah Mama dan tanta saya. Karena begitu paksa dengan suara yang keras dan gertakan moncong senjata, mama saya berdiri dan Mama saya menjawab “Saya Yosepah Alomang, kenapa? Kao mau apa!! dengan suara yang sangat lantang. Lalu ada beberapa Anggota ABRI yang dibelakang mungkin sebagai komandannya mengatakan“itu bukan mama Yosepah Alomang! Cepat cari di sampai dapat ! dan bawa dia ke Mabes”.
Waktu itu jam 10:09 kurang tepatnya begitu, saya ingat betul saya sedang makan pisang goreng didepan teras rumah Kwamki Baru (lorong Amole). Saya melihat 2 mobil milik perusahan Freeport berlogo Toyota yang ditumpangi oleh ABRI. 1 Mobil parkir agak sedikit jauh dari rumah dan satunya persis disamping rumah. Mereka ada 5 orang, 1 didalam mobil dan 4 nya menuju ke rumah. Kalau mobil yang parkir jauh saya tidak melihat pergerakan orang dari mobil tersebut. Karena saya takut saya masuk ke rumah dan saya kasih tahu mama. Dengan keadaan terbata bata mama mengeser kain orden, ternyata benar. Mama memberitahukan beberapa kakak laki laki dan kemenakan untuk keluar lewat belakang rumah. Karena waktu itu mungkin mama pikir akan sangat berbahaya jika ada para lelaki, kalau laki laki ketemu laki mungkin akan ada percikan api namun kalau perempuan sama laki laki mungkin percikan itu sedikit diredem. Hasilnya pun seperti kalimat pada paragraf pertama.
Dua Paragraf diatas itu merupakan beberapa rekaman jejak, saya ingat jelas. Mama saya dipaksa keluar dan dipaksa cari kakak perempuan yang bernama Yosepah Alomang. Yosepah Alomang meruapakan seorang figur yang saat itu menjadi ketakutan konglomerat Freeport dan pihak yang berkepentingan. Freeport telah masuk sejak 1967 dan telah merusak tanah adat Suku Amungme, membuat hampir 1.000 lebih banyak yang lari keluar dari daerahnya Tembagapura (kampung Waa) dan bersembunyi di hutan – hutan belantara, banyak yang mati di hutan karena kelaparan, kena penyakit malaria. Masyarakat takut, karena saat itu Freeport ditumpangi militer masuk dan memaksa keluar masyarakat pemilik Nemangkawi (Tembagapura). Akhirnya masyarakat membuka kampung baru seperti Agimuga, dan mungkin juga Jila, Bela Alama. Jika duduk dengan orang tua hal ini sering diceritakan.
Karena itulah muncul seorang figur yaitu kakak Yosepah Alomang selain Kelly Kwalik dihutan. Saya pikir menjadi tantangan para elit kekuasaan karena beliau mampu menyadarkan dan mampu memobilisasi seluruh eleman masyarakat saat itu bahwa kita harus lawan ketidakadilan, lawan kerusakan lingkungan, lawan militeristik yang sewenang wenang. Sehingga berbagai hasilpun dicapai, protes dan demo besar besar terhadap Freeport, perusakan fasilitas freeport. Banyak hal yang mungkin menjadi ketakutan Freeport dan keputusannya adalah tangkap, penjarakan, hilangkan yang berani melawan.
Pada tahun 1977 Militer Masuk di Kwamki Baru dan mendarat di Airport Timika dengan Pesawat Herkules besar. Saya tanya kepada bapa adik saya, “Bapa ini tentara dari mana yang masuk ini”? Bapa saya, Paulus Magal mengatakan bahwa “ Anak jaga lihat besok lusa tentara itu yang nanti makan kita“ kemudian saya bertanya lagi, kenapa mereka mau makan kita jadi? Bapa bilang, “mau mengamankan Timika jadi mereka datang” (seorang mama Papua)
Kalimat diatas merupakan dialog seorang mama, Yosepah Alomang bersama Bapa adiknya Paulus Magal yang merupakan kakak dan tete saya. Mereka berdua merupakan gambaran dari korban kehadiran Militer yang tujuannya untuk mengamankan Daerah Operasi Pertambangan (DOP). Pengirimian terus dilakuakan untuk menjaga agar masyarakat atau Gerakan Pemberontak yang dicap oleh Aparat sebagai OPM tidak menggangu pengoperasian. Banyak sekali penembakan yang sering terjadi di daerah Pengoperasian Freeport yang menurut hemat saya itu merupakan manipulasi. Saya pikir Freeport menjadi proyek aparat. Sampai saat ini Keamanan diarea Freeport terus diperketat. Dari Mile 32 hingga tambang terbuka (overbound) sepanjang lika liku jalan beberapa meter pasti ada post militer.
Saya banyak dengar dari Mama tentang kasus kasus yang telah melibatkan peran militer dalam menjaga perusahan besar ini. Pernah mama bercerita di tahun 1977 masih teringat di benak mama, kehadiran Militer dengan ditumpangi kepentingan ekonomi Negara ini. Mengundang kelu- kesah yang menyakitkan sebagian masyarakat asli Amungme dan Kamoro. Sejak itu, mama bilang bahwa kehidupan Masyarakat Amungme dan Kamoro mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan itu terlihat pada formasi struktur kehidupan masyarakat Amungme & Kamoro yang dulunya adalah Pekerja keras untuk mendapatkan makanan namun hal itu telah hilang secara perlahan lahan, masyarakat sekarang hidupnya sangat Konsumtif. Freeport membawa masuk wanita – wanita dari luar untuk memuaskan napsu para pekerja, sekarang disebut KM10. Banyak anak anak muda yang suka Mabuk mabuk, keluarga menjadi berantakan. Mama bilang ini merupakan hasil dari kehadiran Freeport.
Freeport dan Militer dan dihiasi gerakan pengibaran bendera di gereja tiga raja menjadi cerita hidup saya. Umur saya waktu itu menjelang 9 tahun. Sehingga saya masih terbayang bayang sendiri kekerasan waktu itu. Freeport dan Militer menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setelah kejadian yang menimpah keluarga saya kini situasinya beranjak naik diakhiran tahun 1990 – 2000 situasi di mana gencar – gencarnya masyarakat Papua memperjuangkan kembali kemerdekaan bangsa Papua setelah diredup oleh rejim soeharto selama 32 tahun. Waktu itu saya ingat betul didepan gereja katolik Tiga raja (Katederal) Massa berkumpul lalu mendirikan Pos satgas mengelilingi gereja, dalam pos itu setiap daerah dari kepala burung hingga ekor burung mengambil bagian. Berkumpul bernyanyi, menari, bercerita bersering menjadi kegiatan keseharian masyarakat saat itu.
Ketika memasuki bulan Januari, tepatnya tanggal 7 – 8 tidak dapat dibendung kemarahaan para Aparatur negara (brimob,kavaleri, infantri, dll.) tepat di depan gereja tiga raja lengkap dengan peralatan bersenjata (tank, senjata mesin besar, gas air mata, gernat dll). Semua peralatan itu terarah ke aksi yang dilakukan oleh masyarakat di dalam gereja. Saat itu saya berpikir kita akan ditembak mati habis. Karena situasi saat itu diandaikan seperti katak didalam tempurung. Lalu tepatnya jam 10 pagi, pagar depan gereja sudah bersesakan dan muncul aksi dorong mendorong pagar antara Satgas Papua dan pihak keamanan. Saat itu bendera bintang kejora sudah ada diatas tiang bendara, sehingga muncul kemarahan dari pihak keamanan untuk melepaskan bendera itu, salah satu cara adalah harus masuk. Peristiwa itu berujung pada penembakan, pembubaran, perusakan hingga memakan korban yang begitu besar. Mama saya jatuh tersungkur dipukul dibagian pinggang atas dengan pantat senjata sehingga mama pingsan. Mama dibawa lari ke rumah sakit karitas begitu juga korban lainya. Ada beberapa yang matanya rusak karena gas air mata, ada juga kakinya patah karena kena tembakan dan gernat. Saya pikir ini hal yang sudah dibiasakan oleh tindakan aparat yang sangat brutal dan membabi buta.
Institusi negara (militerisme) saat sangat berperan penting, di orde baru negara telah hadir hingga sampai pada struktur kecil dalam masyarakat. Struktur hirarki masih sangat jelas. Hampir mereka yang berada di setiap instansi di Papua beckgroundnya militer bahkan tentangga saya yang saat ini menjabat sebagai Ketua RT merupakan pensiunan militer. Sejak kecil saya dengan teman teman sering menjuluki Aparat Militer dengan istilah“kacang ijo” entalah saya tidak tahu kenapa bisa begtu, namun pastinya warna pakiannya tidak jauh beda dengan “Es kajang Ijo”.
Papua tanpa militer itu seperti burung tanpa sayap. Jika burung tidak ada sayap maka burung tersebut tidak akan terbang. Hal yang sama terjadi di Papua, Papua dianggap sekumpulan burung kecil tanpa sayap yang perlu dipaksa untuk bisa terbang. Namun sampai saat inipun burung tersebut bisa terbang namun sengaja dibuat tidak bisa terbang, itu logika sederhananya.
Akhir dari cerita pengalaman ini saya mau katakan bahwa banyak orang yang mengalami apa yang saya alami atau bahkan lebih parah. Cerita pengalaman hidup ini hanya sebagian kecil dari beribuh – ribuh cerita orang Papua yang ada dipedalaman, perbatasan, belantara hutan, sudah dihiliang tertelang rayap tanah. Saya anak muda yang masih hidup akan terus bercerita dan berbagi kesakitan mereka kepada mereka yang mungkin nasibnya sama diluar dari bangsa ini
*……*
Tidak ada komentar
Posting Komentar