Mama Ema dan mama Yosepah: Freeport Menghancuri kami

Tidak ada komentar




Oleh, Benny magal.



"Selokan curhatan anak 64"


kehidupan iyalah kisah kematian. Aku berusaha menulis setiap cerita dalam perjalanan hidupku bukan lain melainkan untuk aku tetap hidup, hidup dalam cerita. Ketika, Aku pergi meninggalkan bumi aku tetap ada dalam coretan kertas dan tersangkut dalam benak makhuluk indah dibumi.


Lewat cerita dari Mama Ema dan mama Yosepah

     Saya adalah anak dari seorang ibu janda, ibu yang berjuang dengan keterbatasan dan spirit seorang feminis. Berbagai keterbatasan tidak membuat semangatnya pudar. Saya lahir di Timika, tanggal 12 Februari 1994 tempatnya Kwamki baru lorong Amole. Kwamki baru menjadi tempat satu satunya saya tumbuh dan besar bersama  dinamika perubahan sosial serta fenomena globalisasi yang tidak dapat dibendung.  Saya menyelesaikan sekolah dasar di SD Inpres Kwamki Baru kemudian pada sekolah menengah St.Maria (unggulan) dan diasramakan di komplek mama Yosepah Alomang (YAHAMAK).  Lalu melanjutkan pada SMA Sint louis Semarang Jawa Tengah melalui program LPMAK yang didanai oleh PT.Freeport Indonesia. Saya menamatkan dan melenjutkan perguruan tinggi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) hingga sekarang. Saya tidak bisa pungkiri rasa bersyukur saya terhadap perusahan ini karena sebagian dari kami anak – anak Amungme diperhatikan, khususnya pada pendidikan.

    Mama  dan Bapa saya berasal dari daerah yang saat ini sedang melakukan pengoperasian Perusahan Freeport McMerron. Perusahan yang dipeributkan oleh berbagai kalangan. Ketika besar, ternyata Perusahan ini menjadi biang kerok masalah integrasi Papua hingga saat ini, saya mengerti hal ini ketika masuk pada perguruan tinggi ditambah bacaan yang memadai. Kampung Tsinga menjadi satu – satu tempat klan dan marga kami berasal.  Muda saja, jika mau melihat  klasifikasi keturununan kami. Tempat kami hanya beberapa klan saja, seperti marga Magal, Beanal, Natkime, Alomang, kum/jawame, kelabetme, ogolmagai, eggarmang, dan beberapa Marga lain yang telah kawin masuk ditempat kami. Mama saya Ema Natkime dan bapa saya Markus Magal  merupakan penghuni  lembah Ongopsegel dan Yelsegel. Wilayah kami hampir semua telah dirusak oleh perusahan ini, dari Ongopsegel  (Erstberg), Yelsegel (gresberg), Utekini (Camp 74), Mulkini (Tembagapura).

        Tempat lahir mama di sungai yang mengalir dari tembagapura, dalam bahasa sungai itu disebut utekinogoung tepemoakjoagasie (otalipogg oma). Sedangkan bapa saya  lahir di sekitar sungai ajikwa  yang sedang turun aliran sungai limba  dalam bahasa amungme disebut Wanalkie. Waa merupakan sebuah kampung di daerah banti pemukiman Freeport, sungai yang mengalir dari kepala air hingga sampai dikota. Waa artinya nama tempat sekarang banti dan Nal merupakan anak. Seingga Waanal merupakan anak sungai. Sungai yang turun dari gunung Nemangkawi itu turun membasahi setiap makhuluk hidup yang berada disekitar lembah

     Nemangkawi. Setiap bantaran dan pinggiran sungai menjadi tempat tinggal kelompok/ klan marga tertentu, karena disitu memang menjadi sangat muda mencari air bersih dan mencari makanan. Hampir sertiap marga dan klan hidup selalu berpindah – pindah (nomaden) tidak menetap. Dalam setiap kisah yang diceritakan oleh Mama saya terlihat bahwa hidup mereka tidak menetap. Sebelum mengenal misionaris belanda (Zanding) hingga pemerintah dan gereja. Dalam bahasa Amungme Agama itu HAI, HAI menjadi sebuah kekuatan orang Amungme dan pengaruhnya sangat besar dalam pembentukan karakteristik, kepribadiaan dan sebuah proses perjuangan untuk tetap hidup.

Cerita Dari Mama, perjalanan panjang hingga sampai di Timika (Kwamki Baru)

Cerita ini bermula dari sebuah lembah dekat gunung Nemengkawi katanya penduduk setempat disebut Ongopsegel dan Yepsegel. Tempat yang sangat disakralkan oleh Orang Amungme saat itu.

Waktu itu, sekitar tahun 1950 Kakek dan nenek dari mama saya ke Notolanop. Mereka berdua pekerjaan sehari hari hanya mencari kodok air di sungai. kakek dan nenek saya jatuh dan terluka parah selama 4 hari tidak tertolong kemudian kakek saya meninggal dunia. Sementara itu, mama saya tinggal dgn adik bapa saya (newelameki) 3 tahun lebih kemudian mama saya pergi meninggalkan desa itu karena ikuti keluarga dari adik bapa saya menuju kampung Waa (Banti).  Sampai di banti mama saya (nenek) kawin bapa kedua marga Omaleng kemudian adik dari  mama (nenek)  datang dan memarahinya akibat maskawin yang tidak memenuhi sehingga adik dari nenek mama datang menggambil mama dan adik kecil dengan paksa kemudian membawa kembali ke Aroanop.

       Waktu kecil saya lihat pesawat terbang di awan biru biru naik turun kemudian saya tanya om om saya distiu. Om saya bilang tidak itu mereka mau survei Pejukate (Grasberg) “ nemengkawi ninggok aggelan wonpewiye” Artinya mau ambil kepala Nemangkawi jadi dong lihat to? Kemudian saya mendesak mama (nenek) untuk turun ke banti, kemudian mama berencana untuk pergi ke banti shingga nenek sembunyi- sembunyi untuk lari,  dengan berbekal petatas (erom) dengan garam batu (kemabunok). Perjalanan kami hingga sampai di Aruanumon dan menanyai tanta – tanta namun tanta – tanta itu  menggatakan cepat ko bawa anak (mama) ke Anggogin, tanta saya disitu marah – marah sehingga kami lari ke Wonggngomong (tempat daerah bandaran kali) ikuti kebun naik ke gunung cari rumah. Ternyata bapa dari adik (om) hampir ketahuan untungnya mama dan nenek yang melihat duluan sehingga kami sehingga kami terlepas dari om itu. Kami lari hingga sampai diopitawak dan sampai di rumah (itorinomon). Mama saya melihat karun goni yang digantung di rumah lalu mama saya bertanya ini, Ini barang apa ni? Ini karung karung goni isi kacang, perusahan datang jadi kami masak masak ni, kata beberapa tetua disitu. Lalu kami bertemu bapa adik di kampung banti di bawa (ikannoktama). Di banti, kami satu malam 2 minggu ternyata mama (nenek ) jatuh sakit sampai mama (nenek) meninggal. Mama dikubur disitu, adik mama menangis keausan susu mama saya hanya bisa kasih bibir dan air tebu berupa susu. Saya ke kebun untuk cari makanan namun saya bertemu Tuarek natkime dan Eromogoli mereka dua bawa lari adik kecil kemudian saya menggikuti mereka dari bawa ikanogtam, batiogom hingga sampai utekini. Kami kaget melihat rumah rumah terpal panjang – panjang yang pasang disitu dan melihat banyak orang bule yang memberikan makanan- makanan (kacang hijau, ikanbeleg, boebelek, garam,petsin dll) mereka hambur hambur makanan itu supaya orang tua dan msyarakat disitu pikiran mati.

Dorang tahu apa? Yang dong tahu itu nemankawi tapi isinya dong tidak tahu, jadi pemerintah, gereja, Masyarakat tidak tahu dengan keberadaan kandungan emas ini.

Memutuskan untuk Berpindah  dari Tsinga menuju Agimuga, sekitar tahun 1950 an ..

“Bukan mama saja, banyak orang Amungme yang mendiami wilayah nemenkawi melakukan imigrasi di sekitar daerah Belakmakama hingga Agimuga. Kami keluar karena banyak diantara kami melihat bahwa Gereja mengajarkan kami banyak hal, tentang hal – hal baik. ”

     Satu tahun kemudian bapa tua  (mama) mengatakan kamu harus ikut bapa tua ke Tsinga untuk sekolah di sana. Sampai di Tsinga mama menghabis 3 tahun di sana. Banyak orang yang pergi ke kampung belakmakama karena disitu pelayanan dari pemerintah dan gereja terjangkau sehingga mama memutuskan untuk menggikuti kata hati hingga sampai di sana namun tidak sampai bulan mama memutuskan untuk pergi menuju kampung Agimuga. Ke Agimuga mama bersama keluarga dan beberapa orang orang yang memutuskan untuk diaspora. Mereka berjalan kaki melewati banyak sungai dari Tsinogong, Hopougoung, Hoenogoung hingga sampai di Agimuga.

      Kontak langsung kami dengan pendatang (jawa) dari luar Papua ketika tahun 1960 an. Mereka masuk pakai  kapal lewat kiliarma hingga sampai ke Agimuga. Orang kei, Ambon, Toraja, jawa, semua suku mulai hadir di tempat kami. Hampir sebagian masa kecil hingga dewasa mama habiskan diA gimuga. Mama sekolah hingga kelas 3 SD tidak melanjutkan. Mama nikah tahun 1972 dengan bapa markus magal di Agimuga setelah itu perusahan sudah beroperasi. Di Agimuga mama melahirkan 6 anak, Kris, Yhoanes, Yakoba, Servina,Berdetaha dan  Natalia,  mereka adalah anak anak yang lahir di tahun 80 an. Ketika peristiwa pemboman di wilayah  Yubalia, Noema, Jila  yang diduga tempat persembunyian TPN – OPM. Mama dan keluarga saat itu berada di Aramsolki. Ketika peristiwa itu terjadi banyak pengiriman tentara ABRI ke daerah pedalaman seperti tempat kami. banyak daerah juga yang dikasih Zone Merah.

    Akibat peristiwa itu keberadaan kami masyarakat sipil menjadi ancamana karena waktu itu susah ABRI mau bedakan mana TPN – OPM dan Militan Combatan atau masyarakat sipil biasa. Akhirnya  kami Transmigrasi lagi menuju Kwamki Baru dan menetap di sana. Satu tahun mama tinggal bersama bapa Thobias Magal hingga tahun berikut mama pindah karena sudah mendapat rumah di lorong Amole.  Ketika masuk tahn 1984 bapak paulus Magal meninggal dunia sehingga kami berduka selama 4 hari.

     Awal dari Perjuangan Mama- Mama.

     Pada tahun 1980, situasi di kota Timika masih sepih dan rawan, hanya ada PT.Freeport Indonesia dan aparat (ABRI/ TNI) yang sedang berkuasa. Aparat digunakan untuk melindungi objek Vital di Wilayah pengoperasian PT.Freeport Indonesia. Daerah Timika menjadi tempat operasi Militer (DOM) dengan pasukan yang khusus Angkatan bersenjata (ABRI). PT.Freeport Indonesia datang dengan keuntungan (Profit) sehingga masyarakat Amungme dan Kamoro (AMOR) disitu tidak di anggap sebagai pribumi dan pemilik hak wilayat (Indegneouse People). Masyarakat pribumi dijadikan seperti binatang/dicap sebagai Tentara Pembebasaan Nasional (TPN), Organisasi Papua Merdeka (OPM).

      Pada tahun 1977 Militer Masuk di Kwamki Baru dan mendarat di Airport Timika dengan Pesawat Herkules besar. Saya tanya kepada bapa adik saya, “Bapa ini tentara dari mana yang masuk ini”? Bapa saya, Paulus Magal mengatakan bahwa “ Anak jaga lihat besok lusa tentara itu yang nanti makan kita“  kemudian saya bertanya lagi, kenapa mereka mau makan kita jadi? Bapa bilang, “mau mengamankan Timika jadi mereka datang” (Yosepah Alomang)

     Percakapan diatas merupakan dialog seorang mama, Yosepah Alomang bersama Bapa adiknya Paulus Magal. Hal ini mendandai bahwa kehidupan pribumi masyarakat Amungme mulai terancam. Pengirimian terus dilakuakan untuk menjaga agar masyarakat atau Gerakan Pemberontak yang dicap oleh Aparat  sebagai OPM tidak menggangu pengoperasian. Banyak sekali penembakan yang sering terjadi di daerah Pengoperasian Freeport  yang menurut pendapat masyarakat Amungme itu sebuah rakayasa manipulatif. Keamanan  diarea Freeport terus diperketat. Dari Mile 32 hingga tambang terbuka (overbound)  sepanjang lika – liku jalan beberapa meter pasti ada post militer.

         Kehadiran Militer dengan ditumpangi kepentingan ekonomi Negara ini. Mengundang kelu- kesah  yang menyakitkan sebagian masyarakat asli Amungme dan Kamoro. Sejak itu,  kehidupan Masyarakat Amungme dan Kamoro mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan itu  terlihat pada  formasi struktur kehidupan masyarakat Amungme & Kamoro yang dulunya adalah Pekerja keras untuk mendapatkan makanan namun hal itu telah hilang secara perlahan lahan, masyarakat sekarang hidupnya sangat Konsumtif.  Freeport menciptakan situasi yang krusial, masuknya wanita – wanita PSK (KM 10) dari luar untuk memuaskan napsu para pekerja sudah menjadi gambaran umum. Banyak anak- anak muda yang suka Mabuk – mabuk, keluarga menjadi berantakan.  Semua ini merupakan hasil dari hadirnya Perusahan Freeport ini.

Kelompok Doa Mama Melahirkan YAHAMAK

     Karena itulah muncul seorang figur yaitu Yosepah Alomang dengan membentuk kelompok Mama – Mama Amungme dan Mulai membentuk kelompok Doa. Dari sini Mama saya bersama Mama lain  bergabung dengan  Kakak Yosepah mulai bersama sama memulai pergerakan ini lewat doa mama. Melihat situasi saat itu tidak dapat dibendung kekuatan ABRI yang begitu kecam. Karena situasi yang mencekam, kekerasaan yang sewenang – wenang oleh Aparat (ABRI). Pada tahun 1983 – 1985 kekerasaan secara fisik berupa Pemaksaan dan Penyiksaan terhadap Andreas Yeanem, Yakobus Alomang, Linus Kwalik dan Matias Kelanangame, tepatnya di pasar minggu (Jln Trikora). Membuat kelompok doa ini hadir karena memang satu – satunya kekuatan mama – mama hanyalah mengucap doa dan memohon Tuhan agar melindungi setiap keluarga yang disiksa dan dianiyaya. Kelompok ini berjalan dengan semangat doa dan menjadwalkan doa pada setiap lingkungan di Kwamki Baru. Sementara itu, pada tahun 1986 – 1989 Pater Nato Gobai yang sedang bertugas sebagai Diakon di Mapurujaya. Didatangani oleh kelompok mama –  mama antara lain; Yosepah Alomang, Theresia I. Magal, Ema Natkime dan Elisabeth Beanal dan 13 Anggota lainnya. Kedatangan mereka membuat Pater Nato Gobai senang dan beliau mengusulkan untuk membentuk sebuah Koperasi melihat latar belakang mama – mama saat itu berprofesi sebagai petani. Akhirnya, kesepakatan pembentukan koperasi itu membuahi hasil yang baik, koperasi itu diberi nama Kulalok. Kemudian untuk modal awal setiap kelompok mama- mama

      Apa yang diperjuangkan oleh kelompok Doa mama ini dibantu juga oleh pihak keuskupan Jayapura atas Berkat pemberitahuan pater Nato Gobay kepada pihak uskup Moninghof di Jayapura, akhirnya Uskup membantu modal sebesar 1.000.000,. berputar dengan modal itu, uskup menekankan untuk membantu suku kamoro. Agar mereka juga dapat membuat sebuah kelompok. Setahun berikutnya kelompok doa mama berhasil mendirikan Kios dengan struktur pengurus; Nikolaus Magal sebagai pengurus, Anton Onijoma sebgai sekretaris dan Theresia I. Magal sebagai Bendahara.memberikan sekitar Rp 84.000,.

      Selain itu, Sekitar tahun 1986 bapak uskup Maninghof tiba di Timika, dari sinilah kelompok doa ini datang dengan aspirasi mereka melalui sebuah Noken yang berisi uang derma sebesar RP 500.000 dan satu butir telur bersama sebuah pesan kepada bapa suci yang berada di Vatikan, bpak Paus. Surat itu berbunyai “bapa tolong doakan orang Papua dan para pejuang yang berada di luar maupun dalam Papua serta para pejuang yang sudah mendahului kita”. Bapak uskup berjanji akan membawakan ini langsung ketangan bapa suci.  Sekitar tahun 1987 uskup menerima surat dari bapa suci bahwa surat yang diisi di Noken telah diterima oleh Beliau. Hasil dari itu, 5 orang dari kelompok doa mama ini dipanggil oleh Uskup untuk membicarakan lebih lanjut. Kelima mama ini berhasil menerima sebuah penghargaan berupa sebuah YAYASAN LORENS, khusunya mama – mama Amungme dan Orang Papua pada Umumnya.

        Hasil itulah, Mama Yosepah Alomang berusaha untuk melobi Gereja dan sahabat Aktivis lain di Jayapura.  Akhirnya, apa yang dicari dijawab oleh Mama  Yosepah Alomang dijawab oleh Gereja. Uskup Leo Laba Ladjar dan pendeta Herman Saud ketua Sinode GKI Tanah Papua bersama pendeta Ronsumber dan Robert Mandosir berhasil menghadirkan Yayasan Hak Asasi Manusia Ini hadir di Timika. Peresmian YAHAMAK pada tanggal 23 januari 2001 oleh pastor Nato Gobay waktu itu mewakili Uskup Jayapura setelah peresmian baru Uskup tiba di Timika. Sebagai badan pengurus YAHAMAK periode pertama,  struktur organisasi seperti begini, Konsultan dipegang oleh Willy Mandowen, Direktur dijabat sebagai Yosepah Alomang lalu Wakil Arnol Rumaropen (merangkap sekretaris) dan Mama Theresia sebagai Bendahara.

        Begitulah sedikit cerita dari kehidupan saya, kehidupan yang diwarnai situasi yang keras. Saya terbentuk dari setiap memori itu. Mama saya menjadi dasar motivasi saya terus berjuang dan bertahan. Saya melihat Indonesia dengan memori dan kenangan saya. Bagaiamana saya menjadi Indonesia? Tak ada yang lebih penting dari itu, karena sebenarnya Indonesia itu telah menunjukan wajahnya dalam kehidupan saya. Situasi dan keadaan waktu itu tidak berbeda jauh hingga saat ini. Nasionalismeku tidaklah berubah jika berubah mungkin saya telah pergi meninggalkan bumi ini yang penuh dengan manuisa yang tamak dan rakus.

Tidak ada komentar

Posting Komentar