Oleh : Dewan Nasional Lain Sang
Manusia agar tetap bertahan hidup harus memenuhi syarat-syarat keberlangsungan hidup. Syarat-syarat tersebut yang kita kenal dengan kebutuhan. Tentu saja yang harus didahulukan oleh manusia adalah kebutuhan primer sebagaimana yang telah diajarkan kepada kita sejak duduk di bangku sekolah. Adalah sandang, pangan dan papan yang menjadi kebutuhan primernya manusia. Katakanlah, asal bisa makan, punya pakaian dan tempat tinggal manusia bisa tetap bertahan hidup. Selain kebutuhan primer, terdapat beberapa kebutuhan manusia yang lainnya, yang oleh seorang tokoh hal tersebut bukanlah kebutuhan melainkan keinginan.
Nah, untuk bisa mendapatkan makanan, pakaian dan tempat tinggal, manusia harus ngapain? Tentu saja manusia harus berusaha (tak lupa berdoa) untuk memperoleh ketiga hal tadi. Usaha seperti apa yang harus dilakukan oleh manusia? Tentu saja adalah bekerja atau yang sering dikatakan dengan berproduksi. Dari proses produksi inilah yang kemudian membentuk suatu tatanan masyarakat, apakah proses produksinya secara kolektif atau secara perseorangan dan cenderung merugikan yang lainnya.
Meskipun sebagian berwatak binatang, akan tetapi manusia berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk yang memiliki tingkat kreatifitas yang tinggi, sehingganya tak heran sejak zaman komunal primitif sampai dengan saat ini proses produksinya selalu berbeda, dari mengumpul dan berburu sampai dengan memukul dan membunuh. Zaman komunal primitif, manusia harus berburu dan mengumpulkan biji-bijian untuk dimakan, dengan alat produksi dari tulang dan batu sebagai pendukung kerja-kerja manusia kala itu. Begitupun dengan pakaian dan tempat tinggal, semuanya masih primitif, begitulah selanjutnya siklus hidup manusia sampai pada suatu masa ditemukanlah sistem pertanian yang kemudian merubah cara manusia berproduksi. Singkatnya, semua selalu berubah sebagai sesuatu yang menyejarah.
Singkat cerita, dengan berkembangnya zaman, sistem barter yang berlaku dalam masyarakat mulai tergerser seiring dengan berlakunya sebuah material yang menjadi alat ukur (emas kemudian uang). Mulai berlakunya emas sebagai alat ukurr merupakan hasil dari perkembangan masyarakat pada waktu itu. Ketika sistem barter berlaku, masyarakat yang tinggal di pesisir akan saling melakukan pertukaran hasil produksi dengan masyarakat yang tinggal di pegunungan. Ikan hasil tangkapan masyarakat yang tinggal di pesisir akan ditukarkan dengan ubi-ubian hasil pertanian dari masyarakat yang tinggal di pengunungan. Kambing seekor ditukar satu buah kelapa, walaupun agak berlebihan setidaknya begitulah gambaran masyarakat waktu itu. Adalah emas yang menjadi alat ukur pertukaran. Misalnya, 1 keping emas setara dengan 1 buah kelapa, sementara 1 ekor kambing setara dengan 10 keping emas, maka 1 ekor kambing setara dengan 10 buah kelapa, kira-kira seperti itulah gambaran umumnya. Singkat cerita, sistem tukar menukar menjadi sistem jual beli yang dikemudian hari Uang mulai berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, tidak cukup sampai disitu, uangpun bertransformasi menjadi kapital.
Kita hidup di zaman yang berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya, kita berada di zaman yang terbilang cukup unik dan sangat ribet, kita hidup pada suatu zaman dimana uang dianggap sebagai segalanya, kita hidup pada suatu zaman dimana uang adalah yang maha kuasa. Demikianlah potret kehidupan kita saat ini, “Manusia hidup ketergantungan dengan benda mati (uang)”.
Dulu, untuk mendapatkan makanan manusia harus berburu atau menanam tanaman penghasil bahan makanan, singkatnya manusia bekerja untuk mendapatkan makanan. Untuk mendapatkan pakaian, harus menenun dan menggunakan pakaian dari kulit binatang hasil buruan. Untuk mendapatakan tempat tinggal, manusia harus bekerja membuat rumah atau tempat berteduh lainnya da mencari gua-gua yang aman untuk berlindung. Sekarang, manusia bekerja bukan untuk mendapatkan makanan, malainkan untuk mendapatkan uang yang nantinya dari uang tersebut akan dibelikan makanan. Sama halnya dengan pakaian dan tempat tinggal, manusia tidak lagi bekerja membuat pakaian dan tempat tinggal, melainkan bekerja untuk mendapatkan uang dan nantinya uang hasil kerjanya itulah yang akan digunakan untuk membeli pakaian dan tempat tinggal. Ada orang yang menenun, akan tetapi kain yang ia tenun bukan untuk dipakai melainkan untuk dijual dan nantinya hasil penjualan kain tersebut dipakai untuk membeli pakaian. Ada yang membangun rumah, akan tetapi rumah tersebut bukan miliknya melainkan milik orang lain. Ada apa dengan manusia saat ini? Setidaknya dalam siklus hidup manusia telah ketambahan satu hal. Dulunya untuk mendapatkan makanan, pakaian dan tempat tinggal cukup dengan bekerja, sekarang harus bekerja mencari uang terlebih dahulu dan kemudian uang tersebut untuk membeli makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Makanan, pakaian dan tempat tinggal kita semua bisa membuatnya sendiri, lantas kenapa harus mencari uang terlebih dahulu untuk mendapatkan itu semua? Mengapa kita harus membeli sementara kita sendiri bisa membuatnya? Jawaban sederhanaya adalah; tidak semua manusia mempunyai keahlian dalam segala hal, makanya bagi mereka yang tidak pandai menenun harus bekerja untuk mendapatkan uang dan membeli pakaian. Mungkin jawaban itu tidaklah salah, tetapi terlalu sempit kita berpikir jika mengiyakan jawaban seperti itu. Ini bukan persoalan pandai dan tidaknya seseorang dalam menenun tetapi sejauh mana dia berusaha pastilah menenun bukan hal yang mustahil bagi semua manusia. Habibie tidak langsung pandai membuat pesawat tanpa proses belajar, begitupun dengan Edison dan Tesla yang tak mungkin bisa membuat lampu tanpa proses belajar.
Okelah, kalaupun tidak semua manusia bisa menenun kain, mengapa kita tidak hidup saling melengkapi saja satu sama lain? Mengapa seorang ahli tenun harus menjual selembar kain dengan harga yang mahal kepada petani yang bisa menanamkan kapas untuknya dan mengapa seorang petani harus menjual beras dengan harga yang mahal kepada seorang buruh yang mampu membuatkan rumah mewah untuknya?
Akhir kata, kupikir lebih indah sebuah kehidupan dalam Utopia Thomas More.
Penulis adalah Anggota LMDP Gorongtal
Tidak ada komentar
Posting Komentar