Oleh : Gideon M. Adii*
Artikel ini Hasil wawancara dengan seorang yang tidak mau disebutkan namanya, sambil kesal, sambil meneteskan air mata, ia bernada dengan Emosi yang meluap, entah kepada siapa ia geram... entah kepada siapa ia melotot, dan mengeluarkan seuntai kata, yakni: Orang asli Papua sendiri bilang, tahun 1969 itu adalah kasus "The act of no choice". Bagaimana kau memilih dengan senjata di kepalamu? Apakah itu Demokrasi?
Kau katakan itu "pilihan bebas" (Free choice) ? Bahkan Soeharto sudah menjual pegunungan Estberg ke Freeport pada tahun 1967! 2 tahun sebelum Papua dicaplokan ke pangkuan NKRI. Tentu saja tidak ada pilihan kecuali bermufakat di bawah todongan Senjata untuk ikut Indonesia, dengan hak suara di batasi hampir 1 suku satu orang diwakili.
Kini kau dengar selalu "NKRI harga mati". iya, bukan...? Bukan kau yang mati... tetapi orang Papua yang selalu mati dibunuh, dianiaya, di perkosa, disiksa, dibodohi, jika mereka meminta kedaulatannya. Jika Freeport yang menyeret kami masuk ke negeri ini, biarkan Freeport juga keluar bersama kami. Karena Tanpa Freeport mungkin sekarang kau tidak mendengar lagu "Dari Sabang sampai Merauke".
Kau mau mendengar suara orang Papua tentang bagaimana kau berteriak bising soal Freeport...? bacalah ini "Sobat, ko pernah lihat orang rakus, lapar pu cara makan...?". Kamu sama dengan mereka itu. Kamu Bekerja banting tulang, dengan mengorbankan segalanya hanya untuk mendapatkan kekayaan alam Papua, lalu kamu membangun daerah kamu.
Kamu mecintai kekayaan alam kami, tetapi manusianya kamu benci. Kamu memang rakus. Satu lagi "Kalo kam Jago, cabut Freeport dengan gunungnya kasih pindah ke kam pu tempat to". Kekayaan yang harganya Miliaran dolar itu tidak ada artinya kalau kemerdekaan kau rampas. Ambil saja, untuk kau. Bawa ke Negerimu, tidak ada artinya buat kami, biarkan kami Hidup tenang. akhir kata "Kenyataan itu pahit, tapi keadilan itu lebih pahit lagi.."
Jadi berhentilah merasa berhak....
Tidak ada komentar
Posting Komentar