Marmer kapitalisme Papua

Tidak ada komentar
Ilustrasi Ancaman Kapitalisme (Foto/Google)

Tulisan ini awalnya dimuat di  JUBI
pada 6 September 2018. Dimuat ulang lagi di Koran MAI-P untuk tujuan pendidikan di Papua khususnya bagi Masyarakat Adat.

Oleh : Beni Cf. Bame 

PAPUA surga kecil yang jatuh ke bumi. Slogan ini dikeluarkan dari buah bibir masyarakat Indonesia, juga para wisatawan (turis) yang melakukan perjalanan rekreasi ke Papua. Namun kini Papua bukan lagi surga kecil yang jatuh ke bumi, melainkan dermaga terakhir para kapitalis lokal dan asing yang berlomba-lomba menguasa ekonomi, untuk memperkaya diri sendiri dan menindas rakyat Papua. 

Jika kita berbicara tentang Papua, tentu tidak terlepas dari sumber daya alam (SDA), baik yang terkandung di dalam perut bumi, seperti, minyak dan gas bumi (migas) di LNG Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, nikel, tembaga, emas dan batu bara di Freeport (Mimika), maupun kekayaan alam di permukaan, baik laut maupun hasil-hasil alam lainnya, sepanjang pulau Papua–dari Raja Ampat, sungai Mamberamo yang panjang dan berliku-liku yang kini tak mampu menjangkau sepanjang hulu hingga hilir sungai , hutan Papua yang luas dan sangat menjanjikan harapan hidup bagi masyarakat di negeri Cenderawasih. 

Papua kini menjadi perebutan dunia internasional. Namun perebutan bukan untuk membangun manusia Papua dari perspektif ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, melainkan perebutan SDA-nya. 

Awal mula alam Papua hidup bebas dan berinteraksi bersama manusia. Tetapi kini alam Papua berada dalam kurungan yang ketat oleh kapitalis nasional hingga tingkat dunia. Mata kapitalis menguasai segala sektor kehidupan. Kapitalis masuk seperti jarum untuk menindas rakyat. Yang kaya makin kaya, miskin makin miskin. 

Kapitalis memang tidak memiliki mata dan hati. Penindasan, pembunuhan, penganiayaan, dan perlakuan tanpa memandang nilai kemanusiaan di Tanah Papua. 

Masyarakat Papua memang menaburkan luka batin dan air mata mengalir tiada henti-hentinya atas semua tragedi kehidupan yang dialaminya. 

Tekanan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Papua semakin meningkat sehingga mereka yang miskin, duda, janda, tidak mampu memperbaharui diri, memandirikan dirinya. 

Jika menyelematkan Papua tidak bisa melalui jalan lain, maka sebaiknya melakukan perbaikan pada sektor ekonomi untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dilakukan di seluruh Papua. Karena itu, masyarakat di kampung-kampung dapat bersaing dengan daerah-daerah lain di Indonesia. 

Selamatkan Papua dari kapitalis 

Untuk menyelamatkan tanah, hutan, manusia, dan generasi Papua, kami membutuhkan pemimpin yang tulus, rendah hati, santun, berani, tegas, dan visioner dengan mengendepankan konsep Bonum Commune (kebaikan/kesejahteraan bersama). Artinya bahwa dia dapat mengangkat seluruh rakyat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Misalnya dengan percepatan pembangunan di sektor ekonomi tadi. Lambatnya pembangunan di Papua karena berbagai faktor, salah satunya kapitalis yang membiayai kekayaan alamnya, dan perlahan-lahan menindas manusia Papua. 

Pembangunan di Papua juga lambat oleh karena berbagai persoalan yang tidak bisa diuaraikan penulis satu per satu di sini. Sebut saja masalah pasar mama-mama Papua yang hingga kini masih menjadi persoalan, pusat pemerintah masih menyisihkan utang untuk pasar mama-mama Papua. 

Akses jalan trans-Papua sudah dibuka. Namun, pertanyaannya: siapa yang akan mengelola sektor ekonomi di jalur trans seperti itu, apakah orang asli Papua (OAP) atau kapitalis? 

Penguasa tambang ilegal sudah memasuki beberagai daerah. Misalnya di beberapa daerah yang tinggali suku Korowai, seperti Boven Digoel dan daerah-daerah lainnya. 

Kapitalis kini mengunakan kekuatan lebih untuk menguasai sektor ekonomi. Rakyat Papua pun tidak memiliki kesempatan untuk bersaing demi meningkatkan kesejahteraannya. 

Kecerdasan masyarakat Papua yang alami atau kepolosan mereka terkadang juga dimanfaatkan kapitalis untuk menutupi sistem atau jalan yang ingin di tembak masyarakat untuk membangun kehidupannya. Alam Papua menyediakan segalanya tanpa diragukan. Sistem pengelolaan ekonomi yang mandiri itu membutuhkan tuntunan yang baik di seluruh kabupaten di tanah Papua. 

Lemahnya kontrol pemerintah menjadi kendala terbesar untuk menata sektor ekonomi masyarakat asli Papua. Dampaknya investor berdatangan dan memanfaatkan mereka. Orang-orang Papua harus diberdayakan. Misalnya bagaimana mengelola hasilnya, menjual pinang, keladi, dan mengelola sagu menjadi produk yang bisa menjadi sumber pendapatan selain untuk dikonsumsi keluarga. Nyatanya masyarakat non-OAP mulai menjual pinang, keladi, dll. 

Melihat fakta di atas seharusnya diatur dalam sebuah regulasi yang jelas. Regulasi tata niaga komoditas unggulan lokal Papua misalnya. 

Jika persoalan ini tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah, maka sampai kapan pun masyarakat Papua tidak pernah sejahtera. Papua tetap akan menjadi dermaga terakhir kapitalis. 

Maka dari itu, kita diajak untuk menyelamatkan Papua dari cengkeraman kapitalisme. Beberapa hal yang sedianya harus diperbaiki. Pertama, perbaikan pembangunan ekonomi kerakyatan berdasarkan kearifan lokal. Kedua, menyediakan transportasi khusus bagi OAP, memberikan sistem pengelolaan ekonomi yang baik bagi masyarakat asli Papua, menyelesaikan persoalan pasar mama-mama Papua, yang menampung pedagang asli Papua dari berbagai daerah. 

Tanpa kerja keras pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, kita tak pernah bisa bersaing untuk maju di bidang ekonomi. Nil Sine Magno Labora Vita Dedit Mortalibus (tanpa kerja keras, kehidupan tak memberikan apapun kepada manusia). Semoga! (*) 

Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Santo Efrem Cabang Jayapura periode 2017-2019

Tidak ada komentar

Posting Komentar