KRISIS INTELEKTUAL ANAK MUDA AMUNGME, Kritik terhadap Matinya Intelektual Amungme

Tidak ada komentar


Dalam bukunya prison notebooks, beliau menjelaskan pandangannya tentang kaum intelektual pada masanya di Italy. Pada bagian awal, beliau menjelaskan bahwa seseorang dikatakan  intelektual sejati dia tidak harus memiliki atau menjadi seorang ahli sastra, matematik, filosofi dan seniman (termasuk jurnalis yang mengaku mereka sebagai sastrawan dan filosofi dan mengangkat diri mereka sebagai Intelektual sejati). Intelektual bukan dicirikan oleh aktivitas Intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, namun oleh fungsi yang bagaimana iya jalankan. Oleh sebab itu tidak dapat kita katakan semua orang adalah Intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelekutal dengan baik. [1]


Menurut Gramsci kaum intelektual itu semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam sebuah lapisan masyarakat dalam satu wilayah produksi (mungkin dalam bidang politik atau sosial budaya) iya melakukan dobrakn ganda (double break). Mereka bukan hanya pemikir, penulis atau seniman namun juga organissator seperti pegawai negri dan pemimpin politik dan mereka tidak hanya berguna dalam masyarakat sipil dan negara namun dalam tingkat yang paling terkecil dalam reproduksi (ahli mesin, tukang jahit, teknisi, manajer)[2]

Melihat situasi yang sama di Italy walaupun beda dalam beberapa konteks (waktu,situasi, peradabaan cultur). Dewasa ini, anak mudah Amungme telah mengalami krisis yang sangat mendalam terutama krisis intelektual. Banyak di antara kita yang telah lulus dengan gelar sarjana (S1) dan gelar doktor (S2) dengan berbagai fokus kajian yang diteliti dalam berbagai penelitian namun Intelektualnya  masih sangat diragukan. Dengan gelar yang  dipikul itu dia menjadi budak coorporate. Susah untuk berprinsip, pegang pada jalannya sendirir, kritis terhadap apa yang dia lihat dan rasakan. Mereka ini dijuluki sebagai Error Intelektual oleh Gramsci. Mereka telah mengetahui akan kebenaran (sebenarnya yang harus saya lakukan itu seperti begini) namun intelektual seperti begini lebih senang untuk membalikan fakta (dibutakan dengan kepentingan kaum proletar) lebih mengutamakan orang beradab dari pada masyarakat biasa.  Intelektual anak mudah Amungme tidak lagi peka terhadap situasi lingkungan dia berada, lambat dalam merespon gejolak sosial, fenomena sosial, takut dalam mengambil keputusan dan hilangnya rasa tangggunjawab.



Saat ini orang Amungme butuh generasi Intelektual yang sadar akan fungsinya sebagai Intelektual sejati. Banyak di antara pemuda Amungme yang telah selesai di jenjang sarjana (S1) dan memilih pulang untuk bekerja di Perusahaan (Freeport) dan lembaga swadaya masyarakat, lembaga masyarakat adat (Lemasa dan Lemasko) bahkan banyak yang lebih memilih menganggur ketimbang melakukan sesuatu. Hampir semua berhenti di pekerjaan ideal tersebut tanpa harus berbuat sesuatu dengan realita sosial yang mereka lihat di sekitar lingkungan mereka berada. Antonio sendiri menganjurkan bagaiamana Intelektual sejati harus bekerja, jika kita disibukan dengan pekerjaan kantor paling tidak kita harus bisa membagi perhatian terhadap fenomena lingkungan yang kita berada. Contoh kasus, di Timika,tepatnya di Kwamki Baru, banyak sekali anak – anak muda yang menjadikan Mabuk sebagai kebiasan sehari- hari dan ditambah permainan Judi (king) yang kemudian mengiyasi bahkan mengubah pola perliaku masyarakat setempat. Banyak dari mereka yang dijulki pemabuk (onome), bahkan satu atau dua dari mereka mempunyai keluarga yang beradab (intelek) namun satu dari mereka itu tidak mengimplementasikan fungsi Intelektualnya dalam fenomena sosial tersebut. Apa yang dikatakan Gramsci yaitu  double break tidak menjadi kepedulian anak mudah Amungme sekarang ini.[3]
Sekolah sampai dijenjang yang sangat tinggi namun tidak mengerti fungsinya sebagai kaum intelektual, sangatlah memalukan. Banyak orang muda Amungme yang mengatakan dirinya sebagai seorang Intelektual sejati. Berbicara di depan media, koran, tv dan berbagai sumber media lainnya. Hampir semua berbicara seolah-olah tentang kepentingan banyak orang namun pada kenyataannya segilintir orang (Bigman/Menagawan) yang menikmatinya. Mereka berbicara tentang kepentingan pemekaran suatu daerah, tentang dana otsus dan berbagai hal yang “sengaja” disibukan dari Jakarta Pusat. Dia tidak tahu kalau rakyatnya sedang perang antara suku yang kesannya dibiarkan oleh negara dan pemerintah daerah, dia tidak tahu kalau seluruh struktur kehidupan masyarakat Amungme telah terkikis bahkan mati satu persatu, dia tidak tahu kalau budayanya mulai hilang terkikis globalisasi dan hilangnya identitas asli hingga harga dirinyapun di injak – injak. Dia tidak tahu kalau adik adiknya dimabukan oleh Miras dan Pesta pora, dia tidak tahu kalau mama- mama sedang banting tulang hanya untuk persaingan ekonomi yang tidak sehat.

Hal yang sama telah terjadi pada intelektual anak muda Amungme, hegemony yang telah dilakukan Freeport telah mematikan gerakan intelektual anak mudah Amungme. Di mana telah terjadi apa yang dikatakan gramsci bahwa “Proses hegemony itu terjadi apa bila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat, terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.” [4] sudah terlihat saat ini situasi masyarakat Amungme telah mengalami krisis, dulu orang Amungme dikenal sebagai pekerja keras. Mau makan harus kerja kebun, banting tulang baru mendapatkan uang. Sekarang dengan adanya Freeport, Freeport secara berlahan – lahan telah menghegemony seluruh lapisan element masyarakat. Dana 1 % diturunkan pada setiap suku, diberikan uang sebanyak banyak tanpa ada pengawasan dan kontrol dengan baik. Ditambah dengan dana Otonomi khusus (Otsus) yang diberikan oleh Jakarta pusat serta kebijakan 100 juta untuk 1 desa di Indonesia. Membuat hilangnya kesadaran Intelektual anak muda Amungme, sikap kritis terhadap permasalahan daerah. Sampai kapankah kita harus berdiam diri? Tentu itu menjadi pertanyaan kita semua sebagai kaum Intelektual yang diidealkan oleh Gramsci. Di sinilah fungsi dan peran Anak mudah Amungme sebagai intelektual sejati tidak terlihat. Kita diharapkan oleh Gramsci untuk bertindak dengan gaya intelektual kita sendiri. Bahkan kita berada dalam arena permainan yang dipermainkan oleh kaum bermodal (Freeport). Mampu kah kita berdiri dengan prinsip kemasyarakatan? Mampukah kita tdak ikut dalam arena permainan “lingkaran setan” kaum kapitalis? (that’s our kolektif reflektion).
Kita tidak perlu bercita – cita tinggi, toh jika ilmu itu nantinya  tidak bermakna dalam kehidupan. Hal ini akan menjadi beban moral yang lukanya seumur hidup. Kita hanya perlu membangun kembali kesadaran disegala bidang (politik, sosial, budaya, ekonomi dll,..) dan melalu reformasi moral serta membangun basis intelektual yang menyeluruh, dan kita harus menciptakan kelas intelektual kita sendiri bukan kelas intelektual yang diciptakan oleh kaum kapitalis lewat pendidikan formal. Dalam pendidikan formal kita tidak sepenuh diajarkan untuk kritis, kita diajarkan untuk bagaimana menjadi sahabat dari “mereka”. Kita harus membangun sekolah sekolah rakyat yang nantinya berpihak pada kaum lemah, kaum – kaum yang tersingkir dalam realitas kehidupan.

[1] (simon, roger. 2004; hlm 141)   [2] ibid   [3] Hasil Observasi Penulis dikwamki baru, 12 juli 2015

sejak kecil penulis dibesarkan di Kwamki baru dan banyak mengamati fenomena sosial yang sangat dinamis.   [4] (Simon, Roger 2004; hlm 7).       ���@��f�6H




Tidak ada komentar

Posting Komentar